Renungan Kristen tentang Bijaksana Supaya Bahagia - Matius 9:29

 

Matius 9:29

Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata:
"Jadilah kepadamu menurut imanmu."

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa arti bijaksana adalah “selalu menggunakan akal budinya”, baik yang berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan. Dengan demikian berarti orang yang bijaksana adalah orang yang selalu menggunakan akal budinya. Tetapi apakah cukup hanya demikian maka secara otomatis menjadi orang yang sungguh-sungguh bijaksana? Tentu dapat dipastikan bahwa tidak ada orang yang tidak menggunakan akal budinya. Artinya semua orang pasti menggunakan akal budinya dalam segala hal dan dalam segala perkara. Anak kecil sekalipun, relatif kemampuan berpikirnya masih rendah atau sudah memadai, dapat dipastikan selalu mengguna-kan akal budinya dalam segala hal. Tetapi apakah semua orang bisa disebut orang yang bijaksana? Kenyataannya banyak orang yang disebut dan digo-longkan sebagai orang bodoh. Kalau digolong-kan bodoh, dengan dalil-dalil tertentu, berarti tidak lagi seba-gai orang bijaksana. Kalau demikian, untuk mengetahui seseorang disebut bijaksana, tidak cukup hanya disesuaikan dengan arti bijaksana menurut kamus, selanjutnya harus dise-suaikan dengan aplikasi hidup seseorang secara pra-ktis. Seseorang disebut bijaksana jika keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan sungguh-sungguh membuahkan kebenaran dan menjadi berkat bagi diri sendiri dan orang lain.

Judul di atas berbunyi, bijaksana supaya bahagia. Sebelum dilanjutkan kepada pembahasan tentang kehidupan yang bijaksana supaya bahagia, perlu dimengerti terlebih dahulu arti bahagia. Me-nurut kamus Bahasa Indonesia, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang tenteram atau bebas dari segala yang menyusahkan. Menurut William Backus, seorang konselor yang berpengalaman, “kebahagiaan adalah perasaan senang atau positif yang terus menerus terhadap kehidupan, terhadap orang-orang lain dan terhadap diri sendiri. Perasa-an itu meliputi rasa puas, lega, tidak susah dan tidak kecewa. Kita bahagia kalau perasaan tidak enak tidak ada pada kita.”[1]

Kalau ditinjau dari kenyataan hidup yang sangat kompleks dengan berbagai permasalahan, sepertinya tidak mungkin ada orang yang sungguh-sungguh bahagia. Kenapa? Sebab menurut defenisi dari kamus bahasa Indonesia di atas, bahwa kebahagiaan terwujud kalau bebas dari segala yang menyusahkan. Dan menurut W. Backus kebahagia-an adalah perasaan senang atau positif yang terus menerus terhadap kehidupan, terhadap orang-orang lain dan terhadap diri sendiri. Apakah ada orang yang sungguh-sungguh bebas dari segala sesuatu yang menyusahkan dalam hidup? Apakah ada orang yang sungguh-sungguh merasakan perasaan senang atau positif yang terus menerus terhadap kehidupan, terhadap orang-orang lain dan terhadap diri sendiri? Siapakah yang dapat merasa-kan kebahagiaan itu?  Disinilah pentingnya mere-nungkan renungan ini, bahwa harus bijaksana supaya bahagia. Tidak akan pernah merasakan kebahagiaan kalau tidak bijaksana supaya bahagia. Kalau tidak bijaksana, dipastikan sampai kiamat dunia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Kebijaksanaan seperti apakah yang harus dimiliki seseorang supaya sungguh-sungguh bahagia? Apa-kah seseorang menjadi bahagia karena mengusaha-kan kebahagiaan itu? Dimana titik akhir dari suatu usaha? Apakah ada batas akhir kepuasan manusia untuk dinyatakan sungguh-sungguh bahagia?

Suatu ketika Tuhan Yesus melakukan per-jalananNya. Ada dua orang buta mengikutiNya sambil berseru-seru dan berkata: "Kasihanilah kami, hai Anak Daud." Setelah Yesus masuk ke dalam sebuah rumah, datanglah kedua orang buta itu kepadaNya dan Yesus berkata kepada mereka: "Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukan-nya?" Mereka men-jawab: "Ya Tuhan, kami per-caya." Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: "Jadilah kepa-damu menurut imanmu." Maka meleklah mata mereka. (Matius 9:27-30). Yang penting untuk direnungkan dari kisah ini adalah pertanyaan Tuhan Yesus kepada kedua orang buta itu. Setelah mereka meminta untuk dikasihani oleh Tuhan Yesus, tentu dalam hubungannya dengan kesembuhan mereka, Yesus bertanya kepada mereka kataNya, “"Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?". Mereka menjawab: "Ya Tuhan, kami percaya." Sambil menjamah mata mereka Tuhan Yesus berkata, "Jadilah kepadamu menurut imanmu." Dengan mengatakan “jadilah kepadamu menurut imanmu”, berarti yang paling berperan da-lam hal ini adalah iman atau percayanya seseorang.

Sesungguhnya hal yang paling utama dalam kehidupan manusia – khususnya orang Kristen – adalah iman. Kata kuncinya adalah iman. Untuk mencapai segala sesuatu adalah dengan iman. Keberhasilan dapat diraih berdasarkan iman. Diberkati dengan kasih karunia Allah adalah de-ngan dan oleh iman. Yang diperhitungkan sebagai kebenaran terhadap Abraham adalah iman (Roma 4:3). Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kelihatan (Ibrani 11:1). Menjadi bahagia dasarnya adalah iman. Seseorang dapat menjadi bahagia, dasar kebijaksanaannya adalah percaya kepada karya Allah yang sempurna. Percaya panggilan Allah, percaya pemilihan Allah yang kekal. Percaya kasih karunia Allah tetap selama-lamanya. Dengan demikian, dasar kebijaksanaan supaya bahagia adalah iman.

Seperti apakah isi iman Kristen yang harus dipercayai supaya bahagia? Berikut ini beberapa data Alkitab sebagai dasar iman Kristen. Data Alkitab inilah yang menjadi dasar kepercayaan agar bijaksana supaya bahagia. Berikut ini ada dua kepercayaan dasar yang harus diakui sepenuhnya.

 

1.      Percaya Menerima Kasih Yang Sempurna

Dalam Yohanes 3:16 Tuhan Yesus ber-kata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Kasih yang sempurna tidak dilatarbela-kangi oleh kebaikan. Kasih yang sempurna tidak hanya membalas kebaikan dengan kebaikan, tetapi juga membalas keja-hatan dengan kebaikan. Kasih yang sempurna bahkan tidak terpengaruh dengan kelemahan dan dosa sekalipun. Dalam pengertian lain, dosa tidak menggagalkan kasih yang sempurna. Ten-tu kalau kasih itu masih dipengaruhi oleh kesalahan atau kelemahan dari obyek, berarti itu bukan kasih yang sempurna. Kenapa Allah  mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa? Berdasarkan Yohanes 3:16, karena kasih Allah begitu besar. Seperti apa besarnya kasih Allah? Kasih Allah tidak terhingga, tidak terbatas, tak terjangkau oleh pikiran, karena kasih Allah sempurna.

Oleh karena kasih Allah yang begitu besar dan sempurna, maka Paulus berkata, “Demikian-lah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” (Roma 8:1). Bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus ti-dak ada lagi penghukuman. Kalau dikatakan tidak ada lagi penghukuman, berarti orang Kristen sungguh-sungguh merde-ka. Merdeka secara total tanpa tuntutan. Dapat dipastikan semua orang memiliki kesalahan tanpa terkecuali orang Kristen sekalipun. Teta-pi sebagaimana Daud berkata, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggaran-nya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, ….” (Mazmur 32:1-2). Tuhan Yesus mati di kayu salib untuk mengampuni dosa umatNya, sebab di kayu salib Dia menanggung dosa. Paulus berkata, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digan-tung pada kayu salib!"” (Galatia 3:13). “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” (2 Korintus 5:21).

Kebanyakan orang meragukan kelayak-an dirinya dihadapan Allah karena kelemahan-kelemahan manusiawi. Jika yang meragukan kelayakan itu adalah orang di luar Kristus, maka hal itu bukan hanya perlu diragukan, tetapi dipastikan total tidak layak dihadapan Allah. Namun jika orang mengaku Kristen dan percaya bahwa Yesus Tuhan dan Juruselamat, seharusnya tidak perlu meragukan kelayakan-nya dihadapan Allah, sekalipun dia memiliki bergudang-gudang kelemahan. Kalau ada orang bertanya, “apakah Allah tetap mengasihi orang percaya sekalipun hidup dalam kelemahannya dan melakukan kesalahan?” Jawabannya ada-lah ‘ya’. Karena Dia menyerahkan AnakNya yang Tunggal untuk mati di kayu salib adalah untuk mengampuni pelanggaran dan menutupi segala dosa umatNya sesuai dengan Mazmur Daud yang telah dikutip di atas. Inilah keperca-yaan dasar yang harus diakui sepenuhnya, seba-gai kebijaksanaan supaya bahagia. Tentu akan sungguh-sungguh bahagia kalau menyadari bahwa dirinya menerima kasih yang sempurna.

 

2.      Percaya Pasti Selalu Diberkati

Dalam kehidupan orang percaya tidak ada kutuk, tidak ada bencana, tidak ada kehancuran, tidak ada musibah. Suatu ketika ada seorang pendeta menceritakan kejadian yang pernah menimpa dirinya. Kejadian itu adalah tempat ibadah atau “gereja” sekaligus menyatu dengan tempat tinggalnya ludes terbakar. Sang pendeta mengatakan bahwa hal itu adalah musibah. Mungkin menurut logika manusiawi hal itu bisa dibenarkan. Tetapi hal yang harus diketahui dan harus selalu diingat dan diakui adalah bahwa kehidupan orang percaya bukanlah kehidupan yang berdasarkan logika manusiawi. Kehidupan orang percaya adalah kehidupan yang berdasarkan firman Tuhan. Hidup orang percaya bukan berdasar-kan apa kata dunia dengan segala filsafatnya, tetapi apa yang difirmankan oleh Tuhan dengan segala kesempurnaanNya.

Paulus berkata, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28). Kalau dikatakan bahwa segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, berarti tidak ada lagi musibah sebagaimana pengakuan pendeta tadi. Kalaupun ada fakta kejadian yang secara logika matematis kenyataannya merugikan, seperti tempat ibadah atau ‘gereja’ sekaligus menyatu dengan tempat tinggalnya ludes terbakar, tentu hal itu bukan lagi musibah. Kenapa? Karena untuk mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah, yaitu semua orang percaya atau orang yang ada di dalam Kristus, semuanya mendatangkan kebaikan. Lagi-lagi harus dite-gaskan, bahwa dalam kehidupan orang percaya tidak ada kutuk, tidak ada bencana, tidak ada kehancuran, tidak ada musibah. Yang ada adalah kebaikan, kasih karunia, anugerah dan berkat.

Hidup orang percaya adalah hidup yang diberkati. Pernyataan ini harus menjadi ajaran dan juga menjadi pengakuan yang tetap. Kem-bali kepada dasar kehidupan orang percaya, bahwa hidup itu berdasarkan apa yang diperca-yai bukan berdasarkan apa yang dilihat. Jika yang dipercayai adalah kebaikan, kasih karunia, anugerah dan berkat, maka jadilah seperti yang dipercayai itu.

Sesungguhnya sangat menyedihkan jika orang sulit untuk mempercayai bahwa hidup orang Kristen adalah hidup penuh dengan kebaikan, kasih karunia, anugerah dan berkat. Sebab tidak mempercayai itu berarti sama de-ngan mencurigai. Karena kebalikan dari mem-percayai adalah mencurigai. Apakah pantas manusia mencurigai Tuhan? Kalau Tuhan dicurigai, siapakah yang akan dipercayai? Orang yang sulit mempercayai Tuhan maka akan curiga terhadap semuanya. Kalau orang sudah hidup dalam kecurigaan, maka hidup orang yang bersangkutan akan disiksa oleh ke-curigaannya. Orang yang demikian tidak akan pernah mengalami dan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.

Orang percaya sesungguhnya adalah orang-orang yang berbahagia. Kenapa? Karena orang percaya pasti percaya bahwa ia adalah ahli waris kerajaan Allah. Paulus dalam surat-nya kepada je-maat di Efesus berkata, “Dalam kasih Ia telah me-nentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Efesus 1:5). Dan kepada jemaat di Tesalonika Paulus berkata, “Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia.” (1 Tesalonika 5:9-10).

Orang Kristen harus bijaksana supaya ba-hagia. Sangat disayangkan jika mengaku orang Kristen tetapi tidak merasakan kebahagiaan hanya karena kurang bijaksana. Kebijaksanaan itu bukan-lah sesuatu yang muluk-muluk atau sesuatu yang sangat sulit untuk dimengerti. Hanya percaya telah menerima kasih yang sempurna dari Allah dan percaya pasti akan selalu diberkati. Cukup hanya percaya, itu sudah sangat bijaksana dan pasti akan bahagia! Karena apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus pada ayat yang tertera di bawah judul re-nungan ini, “Jadilah kepadamu menurut imanmu.”

Oleh : Pdt. Mangurup Siahaan



[1] William Backus, Mengapa Aku Merasa Begini? – Cara Praktis Mengubah Perasaan & Anggapan Yang Salah. (Semarang: Betania, 1999), p. 6-7

Tidak ada komentar untuk "Renungan Kristen tentang Bijaksana Supaya Bahagia - Matius 9:29"