Bijaksana Mengatasi Amarah - Mazmur 37:1-11

 

Mazmur 37:1-11    

       1     Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang;
2   sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau.
3   Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia,
4   dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.
5   Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak;
6   Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang.
7    Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya.
8   Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.
9   Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.
10 Karena sedikit waktu lagi, maka lenyaplah orang fasik; jika engkau memperhatikan tempatnya, maka ia sudah tidak ada lagi.
11   Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah.

 

Apakah amarah sama dengan marah? Sepertinya sih sama saja. Tetapi sama atau tidak, yang pasti harus bijaksana mengatasinya. Kemungkinan dapat dikatakan bahwa marah itu adalah luapan dari amarah. Amarah mungkin saja sering timbul dari dan di dalam hati, tetapi tidak selalu harus dilampiaskan dengan cara marah. Tentu ketika marah ada obyeknya yaitu orang lain, dalam hal ini orang lain tersebut menjadi bahan amukan.

Kenapa harus bijaksana mengatasi amarah? Wah... untuk hal ini perlu keterangan yang mema-dai. Sebab tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak orang yang setuju dengan marah. Artinya, banyak orang yang menganggap bahwa marah itu memiliki nilai positip. Tentu banyak orang-orang memiliki anggapan-anggapan yang demikian dengan alasan-alasan tertentu. Kemungkinan ada pengalaman, yang menurut penilaian mereka ketika marah, kemudian orang yang dimarahi menjadi jera dari perbuatannya yang tidak baik. Orang yang dima-rahi dinilai menjadi lebih baik. Oleh karena itu maka orang-orang tertentu selanjutnya memiliki pemikiran bahwa marah memiliki nilai positip. Benarkah amarah itu memiliki nilai positip? Sung-guhkah orang yang dimarahi menjadi jera dan berubah menjadi lebih baik? Atau kemungkinan orang yang dimarahi menjadi sebaliknya marah? Atau mungkin bukan menjadi lebih baik tetapi menjadi takut? Tentu takut tidak berarti menjadi lebih baik!

Perlu diketahui dan ditegaskan sekarang bahwa penilaian tentang marah itu memiliki dampak positip adalah penilaian yang salah. Orang yang menganggap bahwa amarah menghasilkan sesuatu yang positif adalah anggapan yang salah. Jelas dan lugas rasul Yakobus berkata, “sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” (Yakobus 1:20). Secara lugas ayat ini berkata bahwa amarah manusia tidak menger-jakan kebenaran. Berdasarkan ayat ini, tentu dengan mudah disimpulkan dan disetujui bahwa amarah tidak memiliki nilai positip karena tidak mengerjakan kebenaran. Jika kebalikan dari kebe-naran adalah kesalahan dan jika amarah tidak mengerjakan kebenaran berarti amarah hanya mengerjakan kesalahan. Oleh karena itu jelas dapat disetujui sekarang bahwa amarah tidak memiliki nilai positip.

Banyak orang yang kurang mengerti dan membenarkan amarah dengan mengacu kepada peristiwa ketika Tuhan Yesus menyucikan Bait Allah dalam Yohanes 2:13-25. Ketika itu Tuhan Yesus “membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya.” Orang-orang yang kurang mengerti berkata bahwa saat-saat tertentu amarah itu bisa dibenarkan karena Tuhan Yesus juga pernah marah.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui yang berhubungan dengan peristiwa itu. Yang pertama yang harus diketahui adalah, Tuhan Yesus melaku-kan hal itu sebagai penggenapan dari nubuatan yang telah dinubuatkan di Perjanjian Lama, yang tercatat dalam kitab Mazmur (Maz. 69). Tuhan Yesus marah adalah untuk membuat genap dan memenuhi apa yang telah dinubuatkan. Sedangkan manusia marah tidak ada yang perlu dipenuhi tetapi sebaliknya total hanya mengurangi. Yang kedua yang harus diketahui, Tuhan Yesus adalah Allah dan bukan manusia berdosa sebagaimana semua manusia. Jika Tuhan Yesus sampai marah, hal itu bukanlah suatu emosi yang dimotifasi ke-bencian dan dosa. MarahNya adalah amarah yang sempurna dalam kekudusan dan dalam segala keberadaan Allah. Tetapi adakah manusia yang luput dari kelemahannya? Ketika manusia marah selalu diselimuti kelemahan dan berbagai keberadaan manusiawi lainnya! Tentu tidak ada manusia yang luput dari kelemahan itu. Oleh karena itu, tidak mungkin menyamakan amarah Tuhan Yesus de-ngan amarah yang dilakukan oleh manusia. Tidak ada alasan untuk membenarkan kemarahan manusiawi.

Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam perjalanan hidup ini, hari demi hari selalu berhadapan dengan hal-hal yang dapat menimbulkan amarah. Berbagai hal yang menyebabkan kemarahan itu timbul. Diseluruh daerah kehidupan manusia itu selalu ada penyebab untuk marah. Di rumah tangga, dalam keluarga, dipekerjaan bahkan dalam pelayanan sekalipun. Tanpa terkecuali, anak-anak dan orang tua, yang kaya juga yang miskin dan klasifikasi manusia lainnya. Sepertinya sulit dan bahkan tidak mungkin untuk menyingkir-kan amarah itu dari kehidupan.

Sedangkan di atas telah dibeberkan tentang dampak negatip dari amarah. Amarah tidak akan memberikan sesuatu yang positip. Dengan demikian tidak bisa tidak, melainkan harus dapat mengatasi amarah itu dengan bijaksana. Oleh karena itu, berikut ini ada dua dasar pemikiran supaya bijak-sana untuk mengatasi amarah.

 

1.      Marah Itu Bodoh Dan Merugikan

Banyak data-data Alkitab yang dapat menjadi bahan perbandingan untuk mengetahui perihal amarah, bahwa amarah tidak memiliki nilai positip. Amsal 20:3 berkata, “Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan, tetapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak.”. Bandingkan dengan Pengkhotbah 7:9 yang berbunyi, “Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh.” Ayat ini berkata bahwa jika ada orang yang marah atau membiarkan amarah-nya, dia adalah orang bodoh. Sebaliknya Amsal 29:8 berkata, “...  orang bijak meredakan amarah.” Sekalipun sederhana tetapi sangat nyata kebenarannya, bahwa yang bijak itu adalah orang yang mampu meredakan amarahnya. Oleh karena itu, berarti membiarkan amarah merajalela adalah kebodohan, sebalik-nya yang bijak adalah orang yang mampu meredakan amarahnya.

Ada lagi kisah yang sangat perlu untuk diketahui, yang berhubungan dengan amarah yang berakibat fatal, yaitu kisah Musa ketika memimpin bangsa Israel. Amarah Musa saat itu sangat fatal yang merugikan dirinya sendiri. Perjalanan bangsa Israel ketika di padang gurun Zin dan saat itu tidak mendapat air untuk diminum. Berdasarkan konteksnya, mungkin bisa dikatakan amarah Musa kepada bangsa Israel saat itu sangat beralasan. Karena bangsa itu mempersalahkan Musa dengan berkata, “Mengapa kamu membawa jemaah TUHAN ke padang gurun ini, supaya kami dan ternak kami mati di situ? Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membawa kami ke tempat celaka ini, yang bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, anggur dan delima, bahkan air minum pun tidak ada?” (Bilangan 20:4-5).

Tentu bukan inisiatif dan kehendak Musa untuk membawa bangsa itu keluar dari Mesir, melainkan mutlak perintah Tuhan. Sebagaimana diawal panggilan Tuhan kepada Musa untuk membe-baskan bangsa itu, dengan berbagai dalil Musa berusaha untuk menolak perintah Tuhan (Keluaran 3-4). Tetapi dengan kuasa dan keajaiban yang luar biasa, Tuhan membuat Musa tidak mampu berdalih dengan berbagai argumentasinya. Akhir dari dialog yang panjang, akhirnya Musa harus membebaskan bangsa itu keluar dari Mesir.

Kemungkinan besar itulah yang membu-at Musa marah kepada bangsa itu ketika mere-ka mempersalahkan Musa karena tidak menda-pat air untuk diminum. Musa tidak dapat mene-rima tuduhan dan tuntutan membawa bangsa itu keluar dari Mesir. Kemudian Musa sangat marah dan memukul batu supaya air keluar (Bilangan 20:10-11). Dengan amarah yang membara itu, akhirnya Musa dinyatakan oleh Tuhan tidak layak untuk ikut masuk ke tanah Kanaan, yaitu tanah yang penuh susu dan madu, tanah yang dijanjikan oleh Tuhan.

Amarah Musa dinyatakan Tuhan sebagai ketidakpercayaan atau pembrontakan dan tidak menghormati kekudusan Allah (Bilangan 20:1). Sangat perlu diketahui dan diingat hal ini, bahwa amarah dinyatakan sebagai ketidakpercayaan yang berakibat fatal. Itulah sebabnya marah itu sangat merugikan diri sendiri dan marah itu sama dengan bodoh.

 

2.      Marah itu Hanya Membawa Kepada Kejahatan

Perlu dikutip kembali Mazmur 37:8 di atas yang berkata, ”Berhentilah marah dan tinggalkan-lah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.” Diayat ini perlu diperhatikan lebih dekat dua anak kalimat yang sama: ”berhentilah marah” dan ”jangan marah”, dan satu kata yang berbeda tetapi dengan penger-tian yang sama: ”tinggalkanlah panas hati”. Ketiga kata kunci itu, yaitu ”marah”, ”panas hati” dan kemudian ”marah”, diikuti anak kalimat yang berkata ”itu hanya membawa kepada kejahatan”, adalah dasar pemikiran supaya bijaksana untuk mengatasi amarah. Berdasarkan firman ini bisa dikatakan dasar pemikiran yang kedua ini bahkan lebih fatal dari dasar pemikiran pertama jika tidak mampu mengatasi amarah. Jika dasar pemikir-an pertama amarah itu dinyatakan bodoh dan merugikan, maka dasar pemikiran kedua ini dikatakan lebih fatal karena amarah hanya membawa kepada kejahatan.

Sangat bertolak belakang dengan pemi-kiran banyak orang yang menganggap bahwa marah itu memiliki nilai positip. Setelah merenungkan Mazmur 37, jelas dan nyata bahwa amarah itu hanya membawa kepada kejahatan. Jika amarah itu hanya membawa kepada kejahatan, tentu tidak ada lagi yang positip kecuali total negatip. Dengan demikian sangat penting untuk selalu diingat disemua waktu dan disegala tempat, baik di dalam rumah tangga, dalam keluarga besar, dipekerja-an bahkan tertama dipelayanan. Ketika muncul amarah maka muaranya adalah kejahatan, karena amarah hanya membawa kepada keja-hatan.

Harus disadari bahwa kejahatan adalah musuh utama kehidupan. Kenapa sampai terja-di kematian? Jawabannya adalah kerena adanya kejahatan! Kenapa ada kesedihan? Karena ada kejahatan! Kenapa ada kerusakan? Karena ada kejahatan! Semua yang negatip adalah akibat dari kejahatan. Apakah itu kejahatan? Wah ... jawab sendiri ajalah ya! Yang pasti semua orang setuju jika disebut saja jangan, apalagi dilakukan. Sementara di atas telah dijelaskan bahwa amarah itu hanya membawa kepada kejahatan, dan oleh karena itu maka setiap amarah akan menuju kepada kejahatan. Setiap orang yang tidak mampu mengatasi amarahnya, maka orang itu layak disebut sebagai penjahat. Wah ... jangan jadi penjahat ya! Makanya jangan marah!

 

Demikianlah setiap orang diharapkan bijak-sana mengatasi amarah. Namun dua dasar pemikir-an di atas telah dijelaskan, dengan harapan setiap orang menyadari, yaitu bahwa marah itu bodoh dan merugikan, dan marah itu hanya membawa kepada kejahatan. Dengan demikian kedua dasar pemikiran ini menjadi dasar kebijakan untuk meng-atasi amarah. Setiap kali ada hal-hal yang menim-bulkan amarah, kembalilah kepada dasar pemikiran ini, yaitu jangan bodoh dan merugikan diri sendiri, selanjutnya hindarilah kejahatan karena amarah hanya membawa kepada kejahatan.


Penulis            : Pdt. Mangurup Siahaan

Penyunting    : Redaksi SKB

Tidak ada komentar untuk "Bijaksana Mengatasi Amarah - Mazmur 37:1-11"