Renungan Harian Kristen tentang Jujur dan Pasrah - Yohanes 21:15-19
Yohanes
21:15-19
Pasrah
adalah suatu sikap menyerah sepenuhnya. Pada umumnya sikap pasrah selalu
menjadi alternatif terakhir dalam setiap masalah kehidupan manusia. Kalau ada
masalah-masalah, sekalipun sulit dan membingungkan, biasanya kita tetap
berusaha semaksimal mungkin mencari jalan keluar atau solusi. Mungkin dengan
bertanya kepada rekan-rekan atau konsultasi dengan orang-orang yang membidangi
masalah yang sedang kita hadapi. Kita akan mencari berbagai informasi dengan
harapan masalah yang sedang menimpa kita teratasi sedemikian rupa. Sikap-sikap
yang demikian adalah hal yang wajar. Secara otomatis semua manusia akan
berekasi terhadap segala sesuatu. Sebab kita adalah makhluk yang berpikir dan
yang selalu bersifat intuitif dalam segala hal. Tidak mungkin ada orang sedang
ditimpa berbagai masalah akan diam-diam saja. Emangnya ga ada pikiran? Orang
yang sakit jiwa saja, masih memiliki kemampuan untuk bereaksi terhadap
lingkungan.
Suatu
ketika, kami melayani ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol Jakarta Barat. Kami
membawa kue sebagai oleh-oleh kepada orang-orang sakit yang kami temui. Mereka
yang mau kami layani biasanya dikumpulkan disebuah aula untuk kami ajak
beribadah. Ketika kami memasuki areal Rumah Sakit Jiwa, para pasien sudah
senang. Kenapa? Bukan untuk kehadiran kami mereka senang dan bukan untuk
ibadahnya tetapi mereka senang karena mereka akan mendapat pembagian kue yang
kami bawa.
Hubungan
yang mau kita lihat adalah tentang reaksi terhadap lingkungan. Jika mereka
dikenal sebagai orang yang sakit jiwa mampu bereaksi terhadap sesuatu yang
berguhubungan dengan diri mereka apalagi manusia yang normal. Tentu akan aktif
menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Itulah sebabnya tidak mungkin seseorang
diam saja kalau terjadi masalah-masalah dalam hidupnya. Artinya tidak mungkin
langsung pasrah sebelum ada tindakan-tindakan yang dilakukan untuk
menyelesaikannya. Tetapi setelah berbagai upaya dilakukan untuk
menyelesaikannya, namun hasilnya nihil dan tidak menolong untuk masalah yang
ada, maka biasanya kita akan pasrah atau berserah sepenuhnya.
Sesungguhnya
kurang berserah atau tidak pasrah itu bukan sikap yang tidak wajar. Bahkan
sangat wajar dan manusiawi. Yang tidak wajar jika kita mengaku sebagai orang
Kristen namun tidak menyadari bahwa kita adalah umat kepunyaan Allah (1 Pet.
2:9). Lebih tidak wajar lagi adalah jika kita tidak menyadari bahwa
masalah-masalah yang kita hadapi adalah suatu tanggung jawab dari Tuhan.
Sesungguhnya Tuhan mempercayakan banyak hal kepada kita, yang terkadang tidak
mampu kita hadapi secara manusia.
Banyak
tokoh-tokoh Alkitab yang nyata-nyata merasa tidak mampu untuk mengemban
tanggung jawab yang dari Tuhan. Seperti contoh si Musa. Dalam nyala api Tuhan
menampakkan diri kepadanya. Dengan heran Musa menyimpang untuk mendekat kearah
api itu. Lalu Tuhan memperkenalkan diri kepadanya dengan berkata: “Akulah
Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” (Kel. 3:6). Setelah itu Tuhan memberi tugas
dan tanggung jawab kepada Musa dengan berkata: “Jadi sekarang, pergilah, Aku
mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari
Mesir.” (Kel. 3:10). Musa mengajukan pertanyaan kepada Tuhan sebagai dalil
ketidakmampuannya untuk mengemban tanggung jawab itu. Musa berkata: “Siapakah
aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar
dari Mesir? … Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada
mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya
kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? Apakah yang harus kujawab kepada mereka?”
(Kel. 3:11-13). Jika kita membaca kitab Keluaran akan kita ketahui perihal
Musa mengajukan berbagai pertanyaan sebagai dalil pengakuan Musa bahwa dia
tidak mampu mengemban tanggung jawab itu. Sekalipun Tuhan memperlihatkan
berbagai mujizat kepada Musa sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
yang dia ajukan, namun Musa tetap merasa tidak mampu. Musa berkata: “Ah,
Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus.” (Kel. 4:13). Jawaban
ini membuat Tuhan marah dan akhirnya Musa tidak bisa berdalih lagi.
Secara
pribdi penulis tidak mampu mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai pendiri
dan penanggungjawab untuk sebuah STT yang harus membina dan memuridkan
orang-orang dalam teologi. Berbagai tuntutan datang dari berbagai pihak. Dari
pihak keluarga, rekan sekerja, gereja, pemerintahan juga dari orang-orang yang
dibina. Dipihak lain harus memikirkan sarana dan prasarana seperti tempat,
fasilitas kuliah dan lain-lain. Jika ditanya ‘mampu atau tidak’, saya akan
menjawab ‘tidak mampu’. Namun disisi lain saya menyadari bahwa ini adalah
tanggung jawab dari Tuhan. Jika Musa berkata “Ah, Tuhan, utuslah kiranya
siapa saja yang patut Kauutus”, saya pun berkata: ‘ah, Tuhan kiranya
pelayanan yang lain ajalah asal jangan STT’. Tetapi saat-saat saya berpikir
demikian, saya pun menyadari bahwa ini adalah tugas dan tanggung jawab dari
Tuhan. Tidak ada dasar untuk berdalih. Tidak ada alasan untuk berkata tidak.
Yang ada adalah pasrah atau berserah sepenuhnya dan berkata: jadilah
kehendakMu!
Kenyataan
yang demikian pun terjadi pada diri Petrus, dimana kepadanya dipercayakan Tuhan
Yesus sesuatu yang tidak mungkin dapat diembannya. Suatu tanggungjawab yang
tidak mungkin bisa ditanggungjawabi secara manusia. Apakah itu?
Dalam Yoh. 21:15 Yesus bertanya: “… Simon, anak Yohanes, apakah
engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Dalam terjemahan bahasa
Yunani: ἀγαπάω μέ πλείων = agapaō me pleiōn (agapao
meh pleion). Dalam pertanyaanNya Yesus meminta kasih ‘agape’ kepada Petrus.
Sesuatu yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia kecuali Tuhan yang
berkarya di dalamnya. Tuhan Yesus meminta penyerahan yang tulus 100% dari
Petrus. Dari Petrus dituntut oleh Tuhan Yesus kasih yang tidak memikirkan diri
sendiri, kasih yang rela berkorban hingga nyawa sendiri menjadi korbannya yang
sama dengan yang Tuhan Yesus lakukan di atas kayu salib. Tetapi dalam ayat yang
sama Petrus menjawab: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau
...” Dalam terjemahan bahasa Yuhanani: su oidaV ‘oti jilw se legei outw (su aidas hoti philoo se legei
outoo). Dalam jawabannya Petrus mengaku bahwa dia hanya memiliki kasih ‘philea’
dengan dibumbui bahwa hal itu diketahui oleh Yesus sendiri.
Petrus
mengakui ketidakmampuannya untuk mempertanggungjawabkan hal yang Tuhan Yesus
percayakan kepadanya. Hal itu diulang-ulang sampai tiga kali. Suatu dialog yang
mengharapkan jawaban yang positif. Sesuatu yang sangat serius. Namun Petrus
tetap memberikan jawaban yang menunjukkan ketidakmampuan tentang perihal yang
dipercayakan Tuhan Yesus kepadanya.
Namun
demikian, Tuhan tetap mempercayakan ‘apage’ itu kepada Petrus. Terbukti dari
pernyataan Tuhan Yesus tentang kenyataan yang harus dialami oleh Petrus
dikemudian hari. Yesus berkata: “Sesungguhnya ketika engkau masih muda
engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja
kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan
tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang
tidak kaukehendaki.” (Yoh. 21:18). Mana ada sih orang yang mau dibawa
ketempat yang tidak dikehendaki! Sebagai keterangannya, penulis Yohanes
berkata: “Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan
mati dan memuliakan Allah.” (Yoh. 21:19).
Sesuatu yang
dipercayakan Tuhan kepada kita tidak bisa ditolak. Inipun bagian dari
predestinasi. Kalau Tuhan mempercayakan
penderitaan kepada kita, sekalipun 1.000 kali atau 1.000.000 kali bahkan
berlaksa-laksa ketidakmampuan kita tunjukkan, Tuhan tetap mewujudkannya kepada
kita. Penderitaan itu adalah karunia (Flp. 1:29) dan karunia itu tidak dapat
ditolak. John Calvin berkata: Irresistable grace (Anugerah yang tak dapat
ditolak). Penetapan Allah untuk memberikan anugerahNya akan berdampak positif
yaitu panggilanNya mendatangkan kehendak dari orang itu, sehingga walaupun
orang itu terus menolak, Allah dengan segala kebijaksanaanNya akan membuat
seseorang untuk mengaminkan segala yang Tuhan percayakan.
Oleh sebab itu, dengan kenyataan yang terdapat
pada uraian di atas, ada 2 kesadaran mutlak yang harus kita sadari dalam
kehidupan kita sebagai orang Kristen.
1. Kesadaran tentang kejujuran
yang selalu dituntut oleh Tuhan.
Kita mengetahui salah satu sifat
yang unik yang dimiliki oleh Allah dan yang tidak dimiliki oleh manusia adalah
Mahatahu. Alkitab berkali-kali mengumandangkan bahwa Allah Mahatahu. Ia mengetahui segala sesuatu (Maz. 139:1-6; 147:5). Dia
mengetahui bukan saja perbuatan kita tetapi juga pikiran kita (1 Sam. 16:7; 1
Raj. 8:39; Maz. 44:22; Yer. 17:9-10). Apabila Alkitab berbicara tentang
pra-pengetahuan Allah (Yes. 42:9; Kis. 2:23; 1 Pet. 1:2), yang dimaksudkan
ialah bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang mungkin sebagai mungkin, yang
pasti sebagai pasti, segala sesuatu yang tergantung sebagai tergantung, segala
sesuatu yang akan datang sebagai akan datang, segala sesuatu yang lalu sebagai
yang lalu, semuanya yang ditentukan dari semula sebagai kepastian yang telah
ditetapkan sebelumnya (1 Sam. 23:10-13; Yer. 38:17-20).
Namun demikian – dalam
ke-Mahatahuan-Nya – di dalam Alkitab sering muncul pertanyaan-pertanyaan dari
Allah sebagai Pribadi yang Mahatahu kepada person-person tertentu. Seperti
kepada Adam setelah jatuh ke dalam dosa, Allah bertanya “Di manakah engkau?”
(Kej. 3:9); kepada Ayub ketika kurang percaya Allah bertanya“Di manakah
engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?” (Ayb. 38:4); kepada Yakub, Allah
bertanya, “Siapakah namamu?” (Kej. 32:27); kepada Paulus ketika belum bertobat
Allah bertanya “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” (Kis.
9:4); dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan itu diungkapkan oleh Allah bukanlah
seolah-olah Allah tidak mengetahui sehingga Dia perlu bertanya. Sebab bisa saja
muncul pertanyaan, “mengapa Allah masih bertanya jika Dia Mahatahu?” Dalam hal
ini perlu kita ketahui bahwa pertanyaan tidak selalu dilatarbelakangi
ketidaktahuan. Tetapi pertanyaan bisa muncul untuk menguji seseorang. Jika
Tuhan bertanya, apakah yang Tuhan harapkan? Tidak lain adalah kejujuran. Allah
Mahatahu sehingga tidak perlu Dia bertanya untuk mengetahui. Oleh sebab itu
jika Allah bertanya kepada seseorang itu berarti Allah menuntut suatu
kejujuran.
Salah satu dari sepuluh butir Hukum
Taurat yang dikenal dengan hukum Musa adalah “Jangan mengucapkan saksi dusta
tentang sesamamu.” (Kel. 20:16). Kepada jemaat di Roma Paulus meyakinkan
mereka bahwa dia mengatakan kebenaran secara jujur (Rom. 9:1), kepada jemaat di
Kolose, Paulus menasihatkan supaya para majikan jujur kepada hamba-hambanya
(Kol. 4:1), dan lain-lain. Dari data-data Alkitab ini, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa nilai kejujuran begitu tinggi dan selalu dituntut oleh Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari semua
orang pasti menuntut kejujuran. Tidak ada orang yang senang kalau dibohongi.
Semua orang pasti setuju dengan orang yang jujur. Sebaliknya semua orang pasti
tidak senang dengan orang yang suka bohong. Orang yang dijuluki ‘pembohong’
sekalipun tidak akan setuju dengan kebohongan. Kemungkinan besar seseorang jadi
pembohong dalam hal-hal tertentu karena alasan-alasan tertentu juga. Namun dari
benak seseorang yang normal tidak mungkin setuju dengan kebohongan.
Setiap pekerjaan yang terdiri dari
beberapa orang yang disebut kelompok atau group, salah satu yang paling utama
yang harus mewarnai kerjasama itu adalah saling mempercayai. Mungkin dari
awalnya sekelompok pekerja yang mengerjakan satu bidang pekerjaan memiliki
komitmen untuk saling mempercayai. Karena saling mempercayai mereka dapat
bekerja dengan tenang dan damai antara satu dengan yang lain. Tetapi tidak mungkin
ada perasaan saling mempercayai antara satu dengan yang lain jika terlihat di
dalamnya ketidakjujuran. Jika sudah mulai timbul gejala ketidakjujuran antara
satu dengan yang lain secara otomatis pula akan timbul kecurigaan antara satu
dengan yang lain. Jika demikian, maka hancurlah kesatuan hati kelompok tersebut
dan rusak pulalah pekerjaan mereka semua. Inilah akibat ketidakjujuran.
Tuhan Yesus bertanya kepada Petrus: “…
apakah engkau mengasihi (agapao) Aku …?” Petrus menjawab: “… aku
mengasihi (phileo) Engkau.” (Yoh. 21:15). Berikutnya Yesus bertanya:
“… apakah engkau mengasihi (agapao) Aku?” Petrus menjawab: “…
aku mengasihi (phileo) Engkau.” (Yoh. 21:16). Untuk ketiga kali
Yesus bertanya dengan membalik kata: “… apakah engkau mengasihi (phileo)
Aku?” Inilah yang membuat sedih hati Petrus karena Yesus menukar kata untuk
ketiga kalinya. Namun Petrus tetap menjawab: “… aku mengasihi (phileo)
Engkau.” (Yoh. 21:17). Dalam hal ini
Petrus jujur. Dia tidak tergoda untuk mengakui yang tidak ada di dalam dirinya.
Sekalipun Yesus tetap menuntut kasih agape tetapi Petrus tetap mengakui dengan
apa adanya yaitu kasih philea, kasih yang manusiawi itu. Petrus bukan pengecut
yang bertindak munafik tetapi dia seorang jantan yang berkata apa adanya. Dia
tidak malu mengakui kelemahannya di depan murid-murid yang lain. Dia jujur.
Kejujuran adalah suatu sifat yang
harus kita junjung tinggi. Yesus berkata: “Jika ya, hendaklah kamu katakan:
ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu
berasal dari si jahat.” (Mat. 5:37). Paulus berkata: “… penipu tidak
akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (1 Kor. 6:10). Dengan demikian
kejujuran merupakan warna iman Kristen. Tanpa kejujuran kita tidak berkenan
kepada Tuhan. Bahkan di dalam Alkitab, pengakuan dan keterbukaan alias
kejujuran adalah hal yang menjadi dasar pengampunan.
2. Kesadaran akan kepasrahan
yang mutlak kepada kehendak Tuhan.
Di atas
telah kita telusuri dialog antara Tuhan Yesus dengan Petrus, dimana Yesus
meminta kasih agape namun Petrus menjawab kasih philea. Tetapi jika kita
pelajari segenap perjalanan hidup Petrus, yang tergenapi dalam diri Petrus
bukanlah hanya sekedar kasih philea tetapi murni kasih agape. Hal itu telah
ditetapkan atau dipredestinasikan Allah untuk dirinya. Terbukti dari Yoh.
21:18-19 dimana kematian Petrus telah ditetapkan sebelum ia menemui ajalnya.
Jika Petrus dipanggil untuk diselamatkan oleh Allah, sama seperti kita sekalian
orang percaya diselamatkan untuk hidup yang kekal. Jika ada predestinasi untuk
Petrus, demikianpun ada predestinasi untuk kita. Apakah maksud semuanya ini?
Sebelum melanjutkan pembacaan memang perlu berpikir sejenak!
Kepada kita
telah Allah tetapkan segala sesuatu. Baik penderitaan maupun kesukaan.
Liku-liku hidup yang telah direnda oleh Allah sebelumnya. Namun kita tidak
perlu kuatir sebab semuanya mendatangkan kebaikan (Rom. 8:28). Sang perencana
yang sempurna yaitu Allah sendiri telah merakit kehidupan kita sedemikian rupa.
Pemazmur berkata: “tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan
hati-Nya turun-temurun.” (Maz. 33:11). Namun sesuatu hal yang sangat
menggembirakan jika Yesaya menyerukan Firman Allah demikian: “Sebab Aku ini
mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah
firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan,
untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yes.
29:11). Haleluya …, puji Tuhan!
Apa yang mau
kita buat terhadap predestinasi Allah? Kita tidak bisa mengubahnya! Jangan
sekali-kali menolak ketentuan dari Allah. Dan memang tidak mungkin hal itu
terjadi. Menjadi orang percaya kepada Yesus bukan pilihan kita tetapi ketentuan
Allah. Yesus berkata: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang
memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan
buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam
nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.”H (Yoh.
15:16). Dengan demikain hanya ada satu respon positif terhadap ketentuan dari
Allah. Kita harus pasrah. Kita harus menyerah sepenuhnya. Kita harus berkata
‘jadilah kehendakMu’ dan bukan kehendakku. Ini bukan putus asa tetapi karena
menyadari siapa kita dihadapan Allah. Inilah yang sesungguhnya kerendahan hati.
Dalam suratnya Petrus berkata: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya,
sebab Ia yang memelihara kamu.” (1 Pet. 5:7).
Sikap
pasrah, tidak berarti tanpa usaha. Menyerah sepenuhnya bukan berarti bertopang
dagu saja. Sikap pasrah selalu melakukan semua usaha dengan tidak bersandar
pada akal, namun bersandar pada kehendak Tuhan. Sikap menyerah sepenuhnya
berarti tidak mengandalkan pikiran sekalipun tetap mempergunakan pikiran. Tidak
ada manusia yang tidak berpikir. Yang tidak berpikir adalah ayam, beruang,
kelinci dan semua binatang yang lain. Manusia tetap berpikir. Tetapi orang
Kristen menyerahkan semuanya, pikiran, kehendak dan kemauannya. Tubuh, jiwa dan
rohnya diserahkan kepada Tuhan. Demikianlah sikap yang harus kita miliki
sebagai orang beriman.
Dua kesadaran mutlak harus kita sadari dalam
kehidupan kita sebagai orang Kristen. Kejujuran yang harus mewarnai kehidupan
kita dan kepasrahan atau penyerahan penuh kepada Allah yang telah merencanakan
semuanya. Damai sejahtera akan memenuhi akal dan pikiran kita sekalian.
Oleh Pdt. Mangurup Siahaan
Terimakasih firman Tuhan Yesus, semoga pelayanan bapak semakin jaya dan banyak jiwa yang dimenangkan Tuhan Yesus memberkati.
BalasHapus