Sifat Sifat Allah Dalam Kesempurnaan Nya
Oleh John Calvin Siahaan
Ketika membahas mengenai topik apapun
dalam teologi, setiap orang hendaknya selalu mengarahkan pandangannya pada
Allah, mengenai siapa dan seperti apa Dia. Maka, segala bentuk pembahasan dalam
teologi, dipastikan harus didasari oleh pandangan ataupun ajaran yang benar
tentang Allah. Secara sederhananya, teologi berarti “berbicara tentang Allah
dan hal-hal mengenai Allah”[1]
Jika yang dibicarakan adalah segala hal yang berkaitan dengan Allah, maka
pembicaraan tersebut pun harus selalu berfokus pada perspektif Allah dan bukan
manusia atau ciptaan-Nya. Pemahaman
dasar yang salah tentang Allah, akan membawa seseorang pada dasar teologi yang
salah. Jadi pada dasarnya, orang yang berteologi mestinya memahami dan mengenal
tentang Allah itu dengan baik dan benar.
Untuk
dapat memperoleh pemahaman yang benar tentang Allah, maka dalam berteologi hendaknya
diterapkan sebuah sistem. Dalam hal ini teologi harus dipahami sebagai
“pengetahuan yang sistematis tentang Allah dan hubungannya dengan ciptaan-Nya
seperti yang dipaparkan dalam Alkitab.”[2]
Penerapan sebuah sistematika, agaknya memberikan sebuah tahapan yang dapat
membantu seseorang dalam berteologi. Memang tidaklah mudah untuk menerapkan hal
yang demikian. Tetapi jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka sebenarnya
hal itu justru dapat mempermudah dalam berteologi. Kuncinya terletak pada
keberhasilan pemahaman setiap tahapan yang dinyatakan dalam sistematika
tersebut. Selayaknya sebuah sistem yang di dalamnya terdapat beberapa tahapan, jika
tahapan pertama dapat dipahami dan diterapkan dengan baik, maka tahapan
selanjutnya pun akan dapat dipahami dan diterapkan dengan baik juga. Jadi,
pemahaman pada tahapan pertama dalam teologi sistematika, merupakan hal yang
penting dan sangat mendasari bahkan mempengaruhi berbagai pembahasan pada tahapan
selanjutnya.
Tahapan
dalam teologi sistematika harus dimulai dengan doktrin Allah. Hal ini
diterapkan atas dasar pemahaman bahwa teologi adalah pengetahuan sistematis
tentang Allah, yang dariNya, olehNya, melaluiNya, dan bagiNya segala sesuatu
berada. Jadi, untuk memahami setiap apa yang Allah adakan dan kerjakan, perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai siapakah dan seperti apakah Ia yang
mengerjakan segalanya itu. Teologi harus dimulai dari pengenalan secara
langsung kepada pribadi-Nya. Bahkan dapat dinyatkan bahwa keseluruhan teologi
ialah penelaahan tentang Allah.[3]
Dapat dilihat bahwa nyatanya doktrin Allah adalah dasar dari teologi
sistematika. Segala pengetahuan dalam ilmu teologi harus ditempuh dan didasari
oleh pemahaman doktrin Allah yang benar. Tidak hanya menjadi dasar, bahkan
dapat dikatakan bahwa doktrin Allah adalah teologi itu sendiri.
Terkait pembahasan mengenai
siapa dan seperti apa Allah, itulah yang menjadi pokok pembahasan dalam doktrin
Allah. Jadi walaupun menjadi pembahasan tahap yang pertama, sebenarnya doktrin
Allah sudah mewakili teologi itu. Kalaupun dalam teologi sistematika terdapat
beberapa pembahasan-pembahasan yang selanjutnya (doktrin Manusia, Kristus,
Keselamatan, Gereja, Akhir Zaman), semuanya itu menjelaskan tentang apa yang
Allah kerjakan dan karyakan kepada ciptaan-Nya. Dimana pada akhirnya penjelasan
tersebut pun dinyatakan untuk memberi penegasan tentang siapa dan seperti apa
pribadi Allah itu dalam hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya. Jadi, segala
pembahasan tersebut kembali lagi kepada pengetahuan tentang pribadi Allah. Dengan
demikian teologi itu adalah doktrin Allah.
Berdasarkan berbagai pemahaman
tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin Allah merupakan pembahasan tahap pertama
yang langsung ditujukan kepada pribadi Allah. Perihal mengenal siapa dan
seperti apa Allah itu, dapat dilihat dari seperti apa sifat-sifat-Nya yang
didasari oleh kesempurnaan-Nya. Jika dikaitkan dengan kesempurnaan-Nya, maka
berarti sifat-sifat ini tidak mungkin dimiliki oleh manusia, sebagai makhluk
yang terbatas dan jauh dari kata sempurna. Jadi memahami berbagai sifat-sifat
Allah harus didasari dengan keyakinan akan kesempurnaan-Nya. Sifat-sifat Allah
harus dipahami dengan benar, agar tidak salah dalam memahami segala tindakan
yang Allah nyatakan. Maka bagian selanjutnya akan menjelaskan tentang
sifat-sifat Allah di dalam kesempurnaan-Nya.
Sifat-Sifat Allah Dalam Kesempurnaan-Nya
Mengenal
dan memahami sifat-sifat Allah berbeda secara prinsipnya dengan mengenal dan
memahami sifat manusia. Manusia dapat mengenali sifat sesamanya secara
subjektif, maksudnya ialah tergantung bagaimana ia melihatnya. Pada satu tindakan
seseorang dapat dikenal sebagai orang yang baik, tapi pada tindakan yang lain
bisa dikenal sebagai orang yang jahat. Bahkan pada satu tindakan seseorang pun,
dapat danggap bersifat baik, tetapi bisa juga dapat bersifat jahat, bergantung
pada siapa yang melihatnya dan bagaimana ia menyimpulkan sifat tersebut. Hal
tersebut sah-sah saja jika dikenakan pada manusia, tetapi subjektivitas yang
demikian tak bisa diterapkan pada pengenalan akan sifat-sifat Allah. Dengan
demikian, “Semua sifat Allah itu harus dipandang sebagai nyata secara objektif,
dan bukan sebagai sekedar hasil pemikiran subjektif manusia tentang Allah.”[4]
Tentunya dasar yang objektif untuk mengenal sifat-sifat Allah adalah Alkitab.
Perbedaannya
juga dapat dipahami dari cara pengenalan akan sifat tersebut. Sifat dan tabiat
manusia dapat diketahui dari tanda-tanda pada badan atau tingkah lakunya. Akan
tetapi terhadap Allah cara ini tak berlaku. Keadaan Allah hanya dapat dipahami,
jika seseorang memiliki kerinduan untuk selalu bergaul dengan Dia dengan
perantaraan Firman dan Roh-Nya.[5]
Tetunya dalam hal tersebut yang menjadi dasarnya adalah perantaraan oleh Firman
dan Roh-Nya. Setiap orang tidak mungkin dapat memahami sifat Allah jikalau
tidak melalui Firman-Nya, sebab sifat-sifat Allah dinyatakan dalam Firman.
Selanjutnya Roh-Nya lah yang membawa seseorang pada pemahaman akan sifat-sifat
Allah. Jadi, manusia tidak mungkin memahami sifat-sifat Allah lebih dari apa
yang dinyatakan Allah dalam Firman-Nya dan melalui tuntunan Roh-Nya manusia
memperoleh pemahaman yang benar.
Perlu dipahami juga bahwa,
setiap sifat-sifat Allah itu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya, sebab “pada Allah segala sifat bertindih tepat oleh karena segala
sifat adalah sempurna. Sifat yang satu tidak membatasi sifat yang lain.”[6]
Prinsip yang sedemikian dapat dikatakan sebagai simplicitas Dei yang berarti bahwa pada-Nya segala sifat merupakan
ketunggalan dan bukan kejamakan. Satu dengan yang lainnya tidak sebatas
berdampingan saja, tetapi adalah satu kesatuan sifat yang sempurna, sebab
segala sifat-Nya bertindih tepat dengan hakikat Allah.[7] Jadi meskipun nantinya sifat-sifat
Allah akan dijelaskan satu demi satu, tetapi pada dasarnya antara satu dengan
yang lain itu berhubungan dan saling melengkapi. Selain itu sifat-sifat Allah
tidak mungkin bertentangan satu dengan yang lainnya. Setiap sifat-sifat-Nya
dinyatakan dalam kesempurnaan-Nya. Itulah mengapa pemahaman akan hal ini harus
didasari atas keyakinan bahwa Allah itu sempurna adanya. Beberapa pembagian
sifat-sifat Allah dalam kesempurnaan-Nya dijelaskan sebagai berikut :
a)
Mahakuasa
Sifat pertama
yang terpenting dari beberapa sifat-sifat-Nya yang lain adalah mahakuasa.
Kemahakuasaan Allah ini, agaknya menjadi sebuah dasar untuk sifat-sifat yang
lainnya. Maka dari itu penting untuk memahami terlebih dahulu pribadi Allah
yang bersifat mahakuasa. Hal pertama yang harus dipahami adalah Allah yang
mahakuasa, bukan berarti Allah dapat melakukan apa saja. Pengertian yang
demikian agaknya terlalu sempit dan tidak berdasar. Jadi harus dimengerti
dahulu mengenai kuasa ataupun kekuasaan seperti apa yang dikenakan pada diri
Allah.
Perihal
pengertian kuasa ataupun kekuasaan, Dr.
R. Soedarmo mengartikannya sebagai sebuah wewenang untuk berbuat dan
dilengkapi dengan kecakapan ataupun kemampuan dalam berbuat sesuatu. Dalam hal
ini bisa disepakati dahulu, bahwa Allah memiliki wewenang tersebut dan
dipastikan memiliki kemampuan untuk berbuat apa yang ingin Ia perbuat. Allah
adalah bebas mutlak dalam menyatakan perbuatan-Nya, sehingga tak ada yang dapat
mengikat kuasa-Nya. Jika Ia menentukan akan berbuat, tak ada yang dapat
merintangi Dia untuk menjalankan kehendak-Nya. Ia berkuasa menentukan sikap dan
berkuasa untuk melaksanakannya. Tetapi pengertian tersebut tidak mengarah
kepada kesewenang-wenangan, selayaknya raja yang otoriter dan semaunya.
Kekuasaan Allah adalah kekuasaan yang tak dapat dipisahkan dari hikmat dan
kasih-Nya.[8]
Allah menyatakan kekuasaan-Nya dengan sempurna oleh karena hikmat dan
kasih-Nya. Allah yang berkuasa tak dapat disamakan dengan kekuasaan manusia.
Lebih tegas
lagi seperti apa yang dikatakan Verkuyl
bahwa, “Mahakuasa Allah bukanlah suatu kelaliman ataupun kebengisan. Mahakuasa
Allah bukan pula takdir yang tiada berpribadi. Mahakuasa Allah adalah harmoni
dan koöperasi dengan kehikmatan, keadilan dan kasih Allah dan dengan segala
sifat Allah lainnya.”[9]
Pandangan ini dapat menghindarkan anggapan tentang kemungkinan Allah bertindak
secara sewenang-wenang yang tanpa dasar dalam setiap perbuatan-Nya. Mungkin
terlihat bahwa kuasa Allah itu masih terbatas dalam beberapa sifat yang lainya.
Tapi penggunaan kata terbatas tidak bisa dikenakan pada Allah. Jadi lebih baik
jika dinyatakan bahwa kemahakuasaan Allah didasari oleh hikmat dan kasih-Nya
serta tak dapat dilepaskan dari sifat-Nya yang lain. Walalupun kemahakuasaan
Allah ini dapat dikatakan sebagai dasar dari sifat yang lain, bukan berarti
sifat ini dapat dikhususkan atau dipisahkan dari yang lainnya.
Kemahakuasaan Allah juga harus
dihubungkan dengan hakikat dan natur-Nya. Menurut Henry C. Thiessen, “Tuhan itu mahakuasa adanya dan sanggup
melakukan apa saja yang mau dilakukan-Nya. Karena kehendak-Nya itu dibatasi
oleh watak-Nya maka Tuhan dapat melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan
kesempurnaan-kesempurnaan-Nya. Allah tidak bisa melakukan hal-hal yang tak
masuk akal atau yang bertentangan dengan hakikat diri-Nya”[10]
Berkhof menegaskan pula bahwa,
kekuatan mutlak Allah tidak dapat dipisahkan dari kesempurnaan-Nya dan tidak
dapat dilihat dari sudut pandang bahwa Allah dapat melakukan sesuatu yang
bertentangan.[11] Di
dalam kemahakuasaan-Nya “Allah tidak dapat menghendaki apapun yang bertentangan
dengan natur-Nya.”[12]
Perlu diperhatikan lagi bahwa pemahaman yang demikian, bukan berarti membatasi
kekuasaan Allah. Allah tetap mahakuasa, tetapi kemahakuasaan-Nya adalah
kemahakuasaan yang memiliki dasar yang mutlak dan sempurna. Melalui dasar
inilah pemahaman tentang Allah yang mahakuasa, dapat dihindarkan dari anggapan
bahwa Ia dapat berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hakikat, natur, ataupun
sifat-sifat-Nya.
Menurut Sproul “ Kemahakuasaan Allah berarti
Allah berkuasa atas semua ciptaan-Nya. Tidak ada satu ciptaan pun yang berdiri
di luar penguasaan Allah yang berdaulat.” Kuasa Allah jauh melampaui kuasa
ciptaan-Nya. Allah dapat melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, sebab tiada
yang mustahil bagi-Nya berdasarkan kemahakuasaan-Nya. Tidak ada keberadaan di
luar diri-Nya yang dapat membatasi kuasa-Nya. Namun kuasa-Nya tetap dibatasi
oleh siapa dan apa Dia.[13]
Dalam hal ini kemahakuasaan Allah cendrung dihadapkan dengan ciptaan-Nya. Tentu
Allah sebagai pencipta, secara mutlak berkuasa atas ciptaan-Nya. Namun, kembali
lagi harus diingat bahwa kemahakuasaan-Nya tak dapat dipisahkan dari siapa dan
apa Dia. Hal tersebut mengarahkan kepada hakikat dan natur Allah yang mendasari
kemahakuasaan-Nya.
Allah itu
mahakuasa adanya, sebab Allah adalah Penguasa yang merupakan Raja diatas segala
raja dan Tuan diatas segala tuan (1 Timotius 6:15). Allah berkuasa untuk
melakukan segala hal yang dikehendaki-Nya, dimana kuasa itu melebihi dan
mengatasi segala kuasa yang ada. Kuasa-Nya dinyatakan dari setiap
perbuatan-Nya, dimana hal itu dilakukan atas keputusan kehendak-Nya (Efesus
1:11; Mazmur 115:3). Ayub mengatakan bahwa “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup
melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayub 42:2).
Allah pasti sanggup melakukan segala hal berdasarkan kehendak-Nya, dan tidak
akan gagal. Namun, di dalam kemahakuasaan-Nya, Allah tetap mendasari segalanya
berdasarkan hakikat dan natur-Nya yang nyata dalam kesempurnaan-Nya. Allah tidak
dapat menyangkali diri-Nya (2 Timotius 2:13) dan tidak dapat berdusta kepada
manusia (Bilangan 23:19). Dua hal tersebut adalah contoh tindakan, yang mana
Allah dalam kemahakuasaan-Nya tidak mungkin bertindak demikian sebab
bertentangan dengan hakikat dan natur-Nya. Allah itu setia (1 Korintus 1:9),
dalam hikmat dan kasih-Nya. Maka kemahakuasaan-Nya hanya dinyatakan berdasarkan
hikmat dan kasih-Nya pada ciptaan-Nya.
Jadi Allah yang mahakuasa adalah Allah
memiliki sifat kekuasaan yang tak dapat dibatasi oleh apapun. Ketika Ia
berkehendak, maka hal itu akan terjadi, walaupun nampak mustahil bagi manusia
tetapi tidak bagi Allah. Allah tidak mungkin gagal dalam kehendak-Nya, oleh
sebab Ia berkuasa atas apa yang Ia kehendaki. Kemahakuasaan Allah harus tetap
didasari dengan hakikat dan natur-Nya sebagai Allah yang setia dalam hikmat dan
kasih-Nya. Allah yang mahakuasa bukan Allah yang sewenang-wenang. Justru
melalui kemahakuasaan-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah yang
penuh kasih. Kuasa-Nya itu menembus segala rintangan yang dapat menghambat
kasih-Nya pada manusia. Yesus Kristus adalah bukti nyata kemahakuasaan Allah
yang didasari oleh kasih-Nya pada manusia (Yohanes 3:16). Dan yang terakhir
harus diperhatikan bahwa, kemahakuasaan Allah tidak dapat dikhususkan dari
sifat-sifat Allah yang lainnya, tetapi justru dapat dijadikan sebuah dasar.
Pemahaman ini penting, agar tidak salah dalam memahami sifat-sifat yang
selanjutnya.
b) Mahahadir
Hal pertama
yang harus dipahami lebih dulu adalah bahwa kemahahadiran Allah adalah bukti
bahwa Allah menyatakan kemahakuasaan-Nya atas segala keberadaan tempat atau
ruang. Berkhof mendefinisikan
kemahahadiran Allah dengan ungkapan kebesaran-Nya, dimana ia menjelaskan bahwa
“Kebesaran Allah dapat disebutkan sebagai kesempurnaan keberadaan Ilahi yang
olehnya Ia mengatasi semua pembatasan oleh ruang dan demikian Ia hadir dalam
setiap titik dari ruang itu dengan keseluruhan keberadaan-Nya.”[14]
Dalam hal ini berkhof memberikan penekanan pada kesempurnaan Allah dalam
kehadiran-Nya. Allah yang sempurna itu tidak hanya dapat hadir di setiap ruang,
tetapi Ia pun hadir secara penuh. Kehadiran-Nya yang penuh menegaskan kualitas
keberadaan-Nya pada segala ruang.
Ditegaskan
lagi oleh Berkhof bahwa “Allah ada dalam ruang secara repletif, sebab Ia
mengisi seluruh ruangan. Allah tidak pergi dari semua bagian ruangan, atau juga
Ia tidak hadir di satu tempat lebih daripada Ia hadir di tempat lain.”[15]
Makna kata “repletif” dapat dimengerti sebagai kata sifat (adjective) yang
berasal dari istilah “replete” (Eng) yang adalah “filled ; well provided”
berarti penuh; dilengkapi dengan baik ataupun lengkap.[16]
Dengan demikian, Berkhof ingin kemahahadiran Allah tidak dipahami selayaknya
Allah berpindah-pindah dari satu tempat, ke tempat yang lain agar Ia dapat
berada di seluruh tempat ataupun terdapat perbedaan kualitas kehadiran-Nya
antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Allah hadir secara penuh dengan
kualitas yang sama dan melengkapi dengan sempurna seluruh keberadaan ruang.
Mungkin agak sulit untuk menerima penjelasan yang demikian, tetapi hal tersebut
dapat dimengerti jikalau diyakini bahwa Allah itu mahakuasa, terkhusus berkuasa
atas kehadiran-Nya pada setiap eksistensi ruang.
Allah dapat
dikatakan mahahadir, oleh sebab kesesuaian dengan hakikat-Nya sebagai roh. Dr. R. Soedarmo menjelaskan
kemahahadiran Allah dengan lebih sederhana yaitu Allah berada di mana-mana
tempat, oleh karena Allah adalah Roh yang berarti Ia tidak terikat tempat, tak
berbentuk, tak terlihat. Sifat Allah yang demikian menyatakan bahwa Allah tidak
terbatas adanya dalam kaitan keberadaan-Nya di seluruh tempat.[17]
Pemaknaan roh disini bukanlah sama dengan roh yang ada pada manusia. Menurut Sproul, Roh pada manusia sifatnya tetap
terbatas pada ruang atau tempat dan satuan waktu, sehingga rohnya tidak dapat
dikatakan mahahadir. Hanya Roh yang pada Allah lah yang tidak terbatas dan
bersifat mahahadir. Perihal kehadiran-Nya dalam Roh menegaskan bahwa tidak ada
tempat dimana Allah tidak ada.[18]
Hakikat Allah yang adalah Roh menjadi alasan dari sifat-Nya yang mahahadir. Allah
berkuasa hadir di seluruh tempat dengan penuh oleh karena kuasa dalam
hakikat-Nya sebagai Roh. Jadi, kemahakuasaan Allah dalam Roh-Nya menjadikan Ia
bersifat mahahadir.
Kemahahadiran
Allah harus juga dipahami dalam hubungan dengan ciptaan-Nya. Sebab setiap sifat
Allah pastinya dinyatakan pada ciptaan-Nya. Menurut Thomy J. Matakupan, Allah mahahadir berarti “Ia ada di mana-mana,
berada di dalam ciptaan-Nya, memenuhi setiap ruang tanpa harus terikat di
dalamnya.”[19] Pernyataan
yang demikian hendaknya diuraikan dari penjelasan dan sumber yang lebih
mendalam. Penjelasan tersebut dapat dimengerti melalui pandangan Berkhof
mengenai kebesaran-Nya dan kemahahadiran-Nya. Berkhof menggunakan ungkapan
kebesaran-Nya dalam menjelaskan kemahahadiran-Nya. Sebenarnya Berkhof memiliki
alasan dibalik ungkapan yang digunakannya itu. Bagi Berkhof kebesaran-Nya
menunjuk pada ketidakterbatasan dan kebebasan Allah dari segala pembatasan
ruang, sedangkan kemahahdiran Allah dimengerti sebagai Ia yang mengisi setiap
bagian dari ruang dengan keseluruhan keberadaan-Nya. Jadi istilah “kebesaran”
mengarah pada transendensi, sedangkan “mahahadir” mengarah kepada imanensi
Allah. Allah Imanen pada seluruh ciptaan-Nya, tetapi tidak terikat olehnya.[20]
Henry C. Thiessen pun menegaskan bahwa mahahdir
itu adalah ada di mana-mana pada saat bersamaan, yang berarti Allah hadir di
seluruh ruang alam semesta yang diciptakan-Nya. Tetapi oleh karena
kebesaran-Nya yang tak terhingga, Ia tidak akan terbatas oleh ruang apapun dan
Ia melebihi segala ruang tersebut.[21]
Jika melihat penjelasan mendalam melalui dua tokoh diatas, maka pasti dapat
dimengerti pula seperti apa maksud dari pandangan Tomy J. Matakupan. Jadi Allah
yang mahahadir itu adalah Allah yang senantiasa hadir di dalam seluruh
keberadaan ciptaan-Nya. Jika tempat ataupun ruang menjadi objek kemahahadiran
Allah, maka secara spesifik objek tersebut adalah ciptaan-Nya. Allah yang hadir
tidak berarti Allah yang terikat dengan keberadaan kehadiran-Nya. Dalam
kehadiran-Nya, Ia tetap hadir sebagai pribadi yang tak terbatas, itulah alasan
mengapa Ia dapat dikatakan mahahadir. Kehadiran Allah di tengah-tengah
ciptaan-Nya menegaskan imanensi Allah, sedangkan ketidakterbatasan Allah
menegaskan transendensi-Nya. Imanensi Allah takkan pernah menghilangkan
transendensi-Nya, sebab Ia tidak hanya hadir tetapi juga mahahadir.
Dr. J. Verkuyl mengatakan bahwa “langit
dan bumi seluruhnya terletak dalam daerah kekuasaan Allah. Dimanapun kita
berada, Ia pun berada di situ. Kemanapun kita pergi, ia mendahului kita. Kita
tak dapat meloloskan diri dari pada-Nya.”[22]
Ditegaskan lagi oleh Sproul bahwa tak ada tempat untuk bersembunyi dari
hadapan-Nya, sebab tidak ada tempat dimana Allah tidak ada. Bahkan orang jahat
pun tak terpisah dari Allah, melainkan hanya dipisahkan dari kebaikan-Nya dan
yang dinyatakan kepada mereka adalah murka Allah.[23]
Manusia sebagai ciptaan Allah tidak akan luput dari kehadiran-Nya. Bahkan
manusia pun takkan bisa lari dari kehadiran Allah. Kehadiran Allah nyata oleh
sebab Ia berkuasa untuk hadir dalam ciptaan-Nya.
Allah mampu
dan berkuasa hadir secara penuh dalam setiap keberadaan ciptaan-Nya.
Kemahahadiran yang demikian menjadi sifat Allah oleh karena pada hakikat dan
natur-Nya, Allah itu adalah Roh (Yohanes 4:24; 2 Kor 3:17-18). Ia hadir di
seluruh keberadaan dari ciptaan-Nya dan tak ada yang dapat sembunyi dari Allah.
(Mazmur 139:7-10). Allah menyatakan kehadiran-Nya dalam kedudukan serta
keberadaan-Nya pada langit dan bumi. Dia sungguh-sungguh hadir dan memenuhinya
(Yesaya 66:1; Yeremia 23:24). Walau demikian langit dan bumi tidak membuat
Allah menjadi terikat, sebab pada dasarnya keberadaan di luar Allah adalah
terbatas, sedangkan Allah tidak terbatas bahkan Ia melebihi segala ciptaan-Nya
(1 Raja-raja 8:27; Ayub 11:7-9).
Kemahahadiran Allah secara nyata
dibuktikan pada kedatangan Yesus ke dunia sebagai juruselamat. Allah adalah
Firman yang dinyatakan ketika Yesus hadir di dunia dan menjadi daging (Yohanes
1:1, 14). Kehadiran-Nya di dunia tidak membatasi kemahahadiran-Nya. Bahkan
ketika Ia naik ke Sorga pun tidak berarti Ia tidak hadir dalam diri manusia. Firman
itu tetap dekat dalam hati setiap orang percaya (Roma 10:8). Ketika Ia naik,
Allah tetap hadir dalam manusia dalam Roh Kudus. Setiap diri orang percaya
adalah bait Roh Kudus, yang di dalamnya Allah hadir dan berdiam (1 Korintus
6:19). Dengan demikian, nyata kemahahdiran Allah dalam setiap keberadaan
ciptaan-Nya. Allah berkuasa untuk berada di mana-mana secara penuh dan bersamaan
serta takkan terikat oleh tempat dimana Ia berada, karena Allah adalah Roh.
c)
Mahatahu
Kemahatahuan
Allah merupakan sifat Allah dalam hubungan-Nya dengan pengetahuan. Kemahatahuan
Allah juga adalah bukti kesempurnaan-Nya secara mutlak dalam hal mengetahui,
mengenal, dan memahami. Menurut Dr. R.
Soedarmo, “Allah yang mahatahu adalah “Allah mengetahui segala sesuatu dan
mengenalnya secara mutlak”.[24]
Dalam hal ini Allah menyatakan kuasa-Nya atas segala bentuk pengetahuan. Allah
secara mutlak dan sempurna, dipastikan mengetahui dan mengenal segala sesuatu.
Tidak ada yang luput dari pengetahuan Allah yang mutlak dan
sempurna itu. Soedarmo pun menekankan bahwa dalam kemahatahuan-Nya, Ia mengenal
segala sesuatu sebelum terjadi. Hal ini disebabkan karena memang Ia adalah
pencipta dari segala hal, maka Ia juga yang menciptakan segala perkembangan dan
jalan dari segala makhluk.[25]
Jadi jika Allah dikatakan sebagai yang menciptakan, maka dapat dikatakan juga
bahwa Ia mengetahui segalanya termasuk segala perkembangan dan jalan
terkemudian yang belum terjadi.
Berkhof menjelaskan tentang
kemahahadiran Allah berdasarkan natur dan jangkauan hikmat-Nya. Hikmat Allah
adalah “kesempurnaan Allah dimana Ia, dengan cara yang sangat unik, mengenal
diriNya sendiri dan segala sesuatu yang mungkin dan aktual dalam satu tindakan
kekal dan paling sederhana.”[26]
Hikmat digambarkan sebagai sebuah kesempurnaan mutlak yang mendasari sifat
kemahatahuan Allah. berdasarkan naturnya, hikmat Allah itu berada secara
langsung dan tidak berasal dari suatu proses berpikir ataupun pengamatan.
Hikmat Allah itu sempurna, sehingga Allah mampu melihat segala sesuatu pada
saat yang sama secara keseluruhan dan bukan merupakan rentetan dari satu pada
yang lain.[27] Hikmat
Allah tidak hanya sempurna pada natur-Nya saja, tetapi kesempurnaan hikmat
tersebut pun nyata dalam jangkauannya. Allah dapat dikatakan mahatahu sebab
hikmat Allah menjangkau dan mengerti segala sesuatu. Allah mengetahui segala
sesuatu tentang keberadaan-Nya dan perbuatan yang Ia nyatakan. Allah mengetahui
segala sesuatu yang terjadi di masa lampau, sekarang dan yang akan datang,
serta mengetahuinya dalam hubungan yang nyata. Allah mengetahui segala yang
tersembunyi, yang tak dapat ditembus oleh pengeahuan manusia, bahkan hikmat-Nya
menembus sampai ke dalam hati manusia. Allah pun mengetahui segala kemungkinan
maupun hal yang actual, dimana semuanya berada di dalam kendali pikiran-Nya.[28]
Hal penting
yang harus diperhatikan juga adalah, bahwa berkhof menghubungkan kemahatahuan
Allah dengan kehendak manusia. Jika Allah dikatakan mengetahui atau memiliki
pengetahuan dari sebelum terjadinya segala sesuatu, maka bagaimana kita dapat
memahami mengenai tindakan-tindakan bebas yang berasal dari manusia ? Berkhof
menjelaskan bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu dengan sebab-sebab dan
keadaan-keadaan dalam tatanan yang tepat pada kehidupan manusia. Pengetahuan
Allah akan hal-hal sebelum semuanya itu terjadi serta berbagai peristiwa
kebetulan, semuanya itu ada dan tercakup dalam ketetapan-Nya.[29]
Pandangan tentang ketetapan Allah yang didasari oleh ketergantungan kehendak
atau tindakan bebas manusia, tidak dapat dijakdikan sebagai objek pengetahuan
Allah sejak sebelumnya. Jika demikian maka cendrung membatasi pengetahuan
Allah. Pengetahuan Allah tidak pernah bergantung pada pilihan manusia, termasuk
pengatahuan Allah sejak sebelumnya mengenai hal-hal yang akan datang.[30]
Henry C. Thiessen mengungkapkan bahwa
Allah memiliki pengetahuan yang tak terbatas. Ia mengenal diri-Nya dan
ciptaan-Nya secara sempurna sedari kekal, baik yang bersifat aktual ataupun
kemungkinan, baik yang lampau atau sekarang ataupun yang akan ada. Allah mengetahui
segalanya itu secara langsung, serempak, mendalam, dan sungguh-sungguh.[31]
Hikmat Allah merupakan kecerdasan Allah yang diperllihatkan dalam setiap
ketetapan-Nya untuk tujuan yang paling luhur serta dalam sarana-sarana yang Ia
tetapkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan yang paling luhur tersebut
adalah kemuliaan Allah.[32]
Pandangan Thiessen yang demikian, agaknya mendukung apa yang telah dikatakan
Berkhof, namun dijelaskan dengan lebih sederhana.
Menurut Sproul Mahatahu berarti “memiliki semua
pengetahuan”. Sifat ini hanya ada pada Allah, sebab hanya pribadi yang kekal
dan tidak terbatas yang mampu mengetahui segala sesuatu. pengetahuan dari
makhluk dipastikan terbatas karena memang keberadaannya yang terbatas. Allah
tidak pernah belajar sesuatu atau mendapat pengetahuan yang baru. Masa yang
akan datang atau yang telah berlalu sepenuhnya diketahui oleh Allah, sehingga
“Dia tidak pernah dikejutkan oleh apapun” sebab Ia telah mengetahui segalanya.[33]
Perihal hubungan antara kemahatahuan Allah dengan penentuan-Nya, Sproul
menyatakan bahwa“Allah mengetahui segala sesuatu oleh karena Ia yang
menciptakan semuanya dan Ia yang menghendaki semuanya terjadi. Sebagai penguasa
yang berdaulat atas seluruh alam semesta, Allah lah yang mengontrol alam
semesta ini.” Allah mengetahui segalanya oleh sebab Ia berdaulat atas segalanya
itu. Kedaulatan-Nya merupakan hakikat dan natur Allah sebagai pribadi yang
mahakuasa. Pengetahuan Allah adalah mutlak, artinya Allah selalu menyadari
segala sesuatu.[34] Sama
halnya dengan apa yang Verkuyl
nyatakan, bahwa Allah bukanlah Allah yang tak sadar atau yang sedang mulai
sadar. Melainkan merupakan Allah yang memiliki pengetahuan atas segala sesuatu,
dan tak ada yang tak diketahui-Nya.[35]
Tidak ada
yang dapat mengetahui segala sesuatu selain dari pada Allah sebagai Yang
Mahatahu (Ayub 37:16). Tak ada satupun hal ataupun keberadaan yang tidak Allah
kenali dan ketahui. Mata TUHAN menjelajah seluruh bumi (2 Tawarikh 16:9),
sehingga tak ada satupun makhluk yang tersembunyi, sebab segalanya telah
terbuka di hadapan Allah (Ibrani 4:13). Bahkan Allah mengetahui setiap isi hati
manusia, dan mengerti segala niat dan cita-cita, bahkan Ia telah mengetahui apa
yang hendak setiap orang katakan (1 Tawarikh 28:9; Mazmur 139:4). Allah pun
telah mengetahui sejak sebelumnya, hal-hal yang akan terjadi kemudian. Ia telah
memberitahukan sejak mulanya hal -hal yang terkemudian dan apa yang belum
terlaksana berdasarkan keputusan dan kehendak-Nya (Yesaya 46:10). Allah pun
mengetahui setiap jalan kehidupan manusia (Ayub 23:10), dan seluruh kehidupan
manusia terbuka di hadapan Allah, itulah sebabnya adalahh hal yang mutlak untuk
senantiasa berpegang pada ketetapan Allah (Maazmur 119:168). Ia mengetahuinya
sebab memang Allah lah yang mengerjakan ataupun menetapkan setiap kehidupan
manusia baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Filipi 2:13).
Segala hal bergantung pada ketetapan Allah berdasarkan kemurahan-Nya dan bukan
bergantung pada tindakan atau kehendak bebas manusia (Roma 9:16).
Jadi, Allah
mengetahui segalanya karena Ia lah yang berkehendak dan menentukan segala yang
terjadi pada keberadaan ciptaan-Nya. Hikmat-Nya yang melebihi segala hikmat
menjadi dasar kemahatahuan-Nya. Demikian pula Yesus yang dikatakan lebih dari
pada Salomo perihal hikmat (Matius 12:42). Hal ini menyatakan kesungguhan
keberadaan Yesus sebagai Allah yang mahatau, sebab hikmat-Nya mengatasi segala
hikmat yang ada. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Allah berkuasa atas
setiap pengetahuan, sehingga dalam kesempurnaan-Nya ia adalah Allah yang
mahatahu.
d) Kekal (Tidak Berubah)
Kekekalan pasti
erat kaitannya dengan batasan-batasan waktu ataupun masa. Yang harus dipahami
pertama adalah bahwa sifat Allah sebagai pribadi yang kekal merupakan bentuk
ketidakterbatasan-Nya atas batasan waktu tersebut. Jika dikaitkan dengan
ketetapan tindakan dan pekerjaan Allah, maka sifat kekal dapat dimaknai sebagai
ketidakberubahan Allah. Pemahaman lebih mendalam mengenai kekal atau tidak
berubah, dapat dipahami oleh beberapa pandangan berikut. Berkhof mendefinisikan kekekalan Allah sebagai “kesempurnaan Allah
yang olehnya Allah ditinggikan di atas semua batas-batas temporal dan semua
suksesi masa, dan memiliki keseluruhan eksistensiNya dalam satu masa sekarang
yang tidak terbagi.” Kekekalan Allah berkaitan dengan keberadaan-Nya yang tidak
dibatasi waktu. Jika manusia memiliki masa lalu, sekarang, dan yang akan datang,
maka tidak demikian dengan Allah.[36]
Allah adalah yang kekal, tak dibatasi waktu dan berada di setiap waktu.
Keberadaan-Nya tak pernah terbagi-bagi dan berkuasa untuk menyatakan
eksistensi-Nya di setiap waktu.
Perihal
ketidakberubahan-Nya, Berkhof menjelaskan bahwa haltersebut adalah kesempurnaan
Allah, yang denganNya Ia tak mungkin mengalami perubahan, bukan saja dalam
keberadaan-Nya, tetapi juga dalam segala kesempurnaanNya dan dalam tujuan serta
janji-Nya. Allah sebagaimana adanya tidak akan pernah berubah dan terbebas dari
segala bentuk perubahan. Pengetahuan dan rencanaNya, prinsip moral dan
tindakanNya tetap untuk selama-lamanya. Allah tak mungkin berubah, sebab
perubahan pasti mengarah pada yang lebih baik atau lebih buruk, perkembangan
atau kemerosotan. Allah takkan pernah berkembang atau mengalami kemerosotan.
Eksistensi-Nya tetap, dan tidak akan berubah. Allah yang tidak berubah, bukan
berarti Ia tidak bergerak sama sekali. Allah selalu bertindak dalam
hubungan-Nya dengan manusia. Dalam hal itu dapat terjadi perubahan dalam
hubungan antara manusia denganNya, namun tetap tidak ada perubahan dalam
keberadaan, tujuan, dan motif dari segala tindakan-Nya. Setiap tujuanNya akan
direalisasikan dengan satu tindakan kekal dari kehendakNya.[37]
Kalau pun ada
dikatakan bahwa Allah menyesal, mengubah maksudNya, dan memperbarui hubungan
dalam pertobatan, hal tersebut harus dipahami sebagai gaya pengungkapan yang
antropofatis. Perubahan tidak lah terjadi pada keberadaan Allah dan segala
maksud tindakan-Nya, tetapi yang berubah adalah
diri manusia dan hubungan antara manusia dengan Allah.[38]
Antropofatis adalah “melukiskan Allah menggunakan perasaan-perasaan dan sifat
manusia.”[39] Jadi
perasaan menyesal yang dikenakan pada Allah hanyalah sebuah penggambaran
perasaan manusia yang dikenakan pada Allah. Jadi menyesal bukan berdasarkan
hakikat sebagai Allah, melainkan hanya penyataan dalam gambaran melalui bahasa
manusia. Melalui penjelasan yang demikian, dapat dilihat bahwa sifat kekal
Allah juga menegaskan ketidakberubahan-Nya. Keberadaan Allah sebagai pribadi
yang kekal, membuat apapun yang di kehendaki dalam keberadaan dan maksud tindakan-Nya
pun bersifat kekal, yang maksudnya adalah tidak akan pernah berubah.
Henry C. Thiessen menyatakan bahwa
kekekalan itu berarti bahwa Allah tidak terbatas dalam ukuran waktu, sebab Ia
lah sang pencipta waktu. Keberadaan-Nya adalah tanpa awal dan tanpa akhir, maka
pada hakikat-Nya Allah senantiasa sudah ada dan senantiasa akan ada.[40]
Menurut Thiessen, hakikat, sifat-sifat, kesadaran, dan kehendak Allah itu tidak
akan berubah, sebab perubahan pasti mengarah pada yang lebih baik atau buruk.
Allah tak mungkin jadi lebih baik atau buruk, sebab Ia adalah pribadi yang
berada secara sempurna. Allah juga tidak akan pernah berubah dalam segala
rencana dan tujuan-Nya. Namun ada kalanya Allah dalam tindakan-Nya terhadap
manusia itu berubah oleh sebab manusia itu berubah-ubah agar watak dan
tujuan-Nya tidak berubah.[41]
Dalam hal ini agaknya Thiessen terlihat kurang konsisten dengan pandangan
ketidak berubahan Allah. terdapat sedikit perbedaan antara dirinya dengan
Berkhof. Pandangan Berkhof terlihat lebih konsisten, sebab ia hanya menganggap
perubahan itu terjadi hanya pada manusia, dan tak mempengaruhi Allah, serta
ditekankan bahwa tindakan Allah itu kekal dari kehendak-Nya. sedangakan
Thiessen terlihat mengganggap bahwa Allah dapat berubah dalam tindakan-Nya
kepada manusia, oleh karena manusia yang berubah-ubah. walau dinyatakan bahwa
tujuan-Nya tetap tidak berubah, tetapi dalam hal ini ketidakberubahan Allah
sedikit direndahkan.
Dr. Harun Hadiwijono menjelaskan bahwa
“ungkapan kekal lebih menunjuk kepada waktu yang panjang, sejak dahulu hingga
kini dan sampai selama-lamanya.” Tetapi keberadaan Allah yang sejak dahulu
tidak dapat dimaknai secara statis, dimana disamakan dengan matahari, bulan,
bintang, dan sebagainya yang telah ada sejak zaman purba kala. Kehadiran Tuhan
Allah yang sejak dahulu itu adalah kehadiran yang aktif, yaituyang dinyatakan
dalam Firman dan karya-Nya. Contohnya adalah ketika Allah yang kekal hadir
untuk menyelamatkan dunia dalam diri Yesus Kristus. Dalam diri Yesus Kristus,
yang kekal membatasi diri dengan waktu. Namun walaupun demikian dalam
kehidupanNya, yaitu dalam Firman dan karyaNya, Ia menyatakan Tuhan Allah yang
kekal, yan gtidak terikat pada waktu. Dalam Firman dan karya Tuhan Yesus
tampaklah bagaimana Allah yang kekal itu.[42]
Jadi Allah yang kekal, secara nyata dapat dilihat dari penyataan Firman dan
karya-Nya.
Sama halnya
dengan sifat-Nya yang kekal, hakikat Allah yang tidak berubah atau tetap sama
juga dinyatakan dalam Firman dan karya-Nya. Dalam penyataan-Nya itu Allah
menghendaki umatNya menjadi sekutuNya. Dalam kehendakNya ini tidak akan pernah
terjadi perubahan sekalipun umatNya sering mengubah sikapnya terhadap Tuhannya.
Dalam hal ini Allah menunjukkan kesetiaan terhadap kehendak-Nya.[43]
Dalam ketidakberubahan Allah, terdapat juga hal sesal Allah. Berdasarkan
hakikat ketidakberubahan-Nya, Allah dapat dikatakan tidak mungkin menyesal atau
berubah. Hal ini dapat dierapkan kepada keputusan-Nya untuk menjadi sekutu
umat-Nya, oleh sebab Ia setia pada kehendak-Nya. Tetapi oleh karena hakikat itu
juga Allah dapat dikatakan menyesal, yang diterapkan pada sikap umat-Nya yang
membahayakan keputusan Allah untuk menjadi sekutu umat-Nya.[44]
Jadi hal sesal Allah tidak diarahkan kepada pribadi dan keberadaan Allah,
tetapi cendrung kepada manusia yang pada dasarnya seringkali berubah-ubah.
Tetapi hal sesal Allah yang diarahkan pada hakikat manusia yang selalu berubah,
tidak akan mengubah kehendak Allah kepada umat-Nya. Allah adalah Allah setia
dalam segala kehendak-Nya.
Dr.
R. Soedarmo
memulai pembahasan kekekalan Allah dengan ketidakberubahan Allah. Allah itu
tetap adanya dari kekekalan hingga kekekalan, Ia tidak berubah. Perkataan
Alkitab yang menyatakan bahwa Allah menyesal merupakan ungkapan
antropomorfisme, yang Tuhan berkenan memakainya. Hal itu bukan mengarahkan pada
Allah yang berubah tetapi hanyalah cara penyataan yang Allah perkenankan.[45]
Selanjutnya bahwa Tuhan tidak berubah itulah yang disebut sebagai kekal, kalau
dihubungkan dengan waktu. Allah yang kekal berarti Ia tak berawal dan tak
berakhir. Ia memang ada di dalam waktu tetapi tidak dicakupi oleh waktu.[46]
Istilah berbeda digunakan oleh Soedarmo dalam menjelaskan ungkapan Allah yang
menyesal. Berkhof menggunakan istilah antropofatis, sedangkan Soedarmo
menggunakan antropomorfisme. Istilah antropomorfisme adalah “memberikan kepada
Allah sifat-sifat yang ada pada manusia, baik jasmani (mis., wajah, mulut,
tangan) maupun yang berkaitan dengan perasaan (mis., sedih, marah, gembira).”[47]
Sebenarnya Berkhof menggunakan istilah itu sebab ia mengartikan antropomorfisme
hanya sebagai ungkapan yang melukiskan Allah menggunakan wujud tubuh manusia.[48]
Jadi tidak mencakup sifat dan perasaan juga. Perbedaan definisi tersebut memang
agak menyulitkan, tetapi yang harus dipahami bahwa pernyataan Allah menyesal
merupakan sebuah gambaran dalam bahasa yang Allah perkenankan untuk digunakan.
Menurut Verkuyl, Allah yang kekal adalah Allah
yang telah ada sebelum waktu, mengatasi waktu dan yang berkuasa atas waktu.
Allah tetap ada sesudah waktu habis. Dia lah Allah yang tak berawal dan tak
berakhir.[49] Sproul pun menjelaskan bahwa Allah
tidak berada oleh karena suatu sebab. Allah itu kekal, yaitu selalu ada dulu
dan sekarang, sebab Ia lah yang memiliki kuasa keberadaan.[50]
Nyatanya kemahakuasaan Allah juga nyata dalam sifat-Nya yang kekal. Ia berkuasa
untuk berada di setiap waktu.
Abraham menyebut TUHAN sebagai Allah yang
kekal (Kejadian 21:33), sebab memang Dia lah TUHAN, Allah yang kekal, yang
menciptakan langit dan bumi (Yesaya 40:28). Allah sungguh telah ada sedari
kekal (Mazmur 93:2), dan Ia terus senantiasa berada untuk selama-lamanya
(Mazmur 90:2). Allah yang kekal itu berada dalam waktu tetapi, keberadaan-Nya
tidak akan pernah terikat dan dijelaskan dalam ukuran waktu, hanya dapat
dipahami seperti yang tercatat dalam 2 Petrus 3:8. Allah yang kekal dalam
kehendak-Nya dapat dinyatakan dalam ketidakberubahanNya. Pada hakikat-Nya Allah
tetaplah Allah yang sedemikian (Keluaran 3:14, Ia yang terdahulu adalah Aku dan
Ia yang terkemudian juga adlah Aku (Yesaya 41:4). Dengan demikian tidak ada
perubahan dalam diri Allah. Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan-Nya,
sehingga tidak ada janji-janjiNya yang berubah (Roma 4:21). Kekekalan Allah
menunjukkan kesempurnaan keberadaan-Nya yang tak dibatasi oleh waktu. Sedangkan
ketidakberubahan Allah merupakan bukti bahwa kehendak-Nya ialah kekal dan tetap
untuk selama-lamanya. Allah tidak akan pernah berubah dalam keberadaan dan
tujuan tindakan-Nya. Perubahan yang terjadi pada manusia tak akan pernah
mengubah apapun pada pribadi dan kehendak Allah yang kekal itu. Allah yang
kekal nyata dalam setiap Firman dan karya-Nya. Hal itu merupakan bukti
kesetiaan Allah atas setiap kehendak-Nya kepada ciptaan-Nya.
e)
Mandiri
Berdasarkan
KBBI, mandiri adalah “dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung
pada orang lain.”[51]
Jika dikaitkan dengan kesempurnaan-Nya, kemandirian Allah menurut Thomy J. Matakupan dapat diartikan
sebagai “ketidakbergantungan Allah atau keberadaan Allah yang tidak bergantung
pada keberadaan yang lain. Hal ini berarti dasar keberadaan diri Allah berada
di dalam diri-Nya sendiri. Lain halnya dengan manusia, yang keberadaannya
sangat bergantung pada segala sesuatu yang berada di luar dirinya.”[52]
Kemandirian yang mutlak hanya dapat dikenakan pada diri Allah. Mungkin manusia
bisa dikatakan mandiri, tetapi kemandiriannya itu tetap terbatas oleh kodratnya.
Pada dasarnya
manusia adalah makhluk sosial yang berarti membutuhkan keberadaan yang lain di
luar dirinya untuk menjalankan suatu hal. Kalaupun dikatakan mandiri, itu hanya
dapat dilihat dari satu sisi saja. Misalkan seorang anak semasa kecilnya
biasanya bergantung pada orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhannya. Lalu
ketika sudah beranjak dewasa, biasanya dikatakan sudah mandiri sebab ia tak
lagi bergantung pada orang tuanya perihal kebutuhannya. Ia dapat menghidupi
dirinya sendiri, tanpa campur tangan orang tuanya lagi. Tetapi di sisi lain,
bagaimana ia dapat menghidupi dirinya sendiri? Bukankah karena dia bekerja dan
mendapat uang? Lalu dalam pekerjaannya, apakah ia sungguh-sungguh dapat lepas
dari ketergantungan terhadap rekan-rekan kerja ataupun pimpinannya? Jadi dalam
hal ini sifat mandiri sama sekali tidak dapat dikenakan pada manusia. Kalaupun
dapat dinyatakan pada satu sisi, namun secara keseluruhannya sama saja tidak
mandiri. Keberadaan manusia sangat bergantung pada keberadaan yang lain di luar
dirinya.
Berkhof menyatakan bahwa “Allah ada
dari diri-Nya sendiri, artinya Ia memiliki dasar bagi eksistensi-Nya sendiri”.
Pandangan tentang eksistensi Allah biasanya dinyatakan dalam istilaah aseitas yang berarti “bermula dari diri
sendiri”, tetapi para teolog reformed mengganti istilah itu dengan independentia (tidak tergantung), yang
mengekspresikan, bukan saja Allah itu tidak terikat oleh apapun dalam
keberadaanNya, tetapi juga dalam kebaikan-kebaikanNya, keputusan-keputusanNya,
karyaNya, dan seterusnya.[53]
Perihal hubungan keberadaan-Nya dengan keberadaan lain, dinyatakan bahwa
“sebagai Allah yang ada pada diriNya sendiri, bukan saja Ia tidak terikat dalam
diriNya, tetapi juga menyebabkan segala sesuatu keberadaan tergantung padaNya.”[54]
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Henry
C. Thiessen bahwa Allah yang ada dengan sendirinya bukan berasal dari
kehendak-Nya tetapi merupakan sifat-sifat dasar-Nya. Keberadaan Allah tidak
memiliki penyebab atau disebabkan oleh diri-Nya sendiri. Ia dikatakan sebagai
yang tak memiliki penyebab, dengan dasar bahwa keberadaan-Nya adalah sifat
dasar-Nya.[55]
Sproul menjelaskan kemandirian Allah
melalui sebuah esensi dari perbedaan pencipta dan ciptaan. Allah adalah
pencipta alam semesta, dimana segala ciptaan itu dapat berada disebabkan oleh
Allah yang menciptakan. Jadi Allah merupakan pencipta dan bukan ciptaan,
sehingga tidak ada penyebab dari keberadaan Allah. Allah tidak mungkin
menciptakan diri-Nya sendiri, tetapi keberadaan-nya adalah mandiri.[56]
Keberadaan Allah sebagai pencipta, menegaskan bahwa Ia lah penyebab dari
keberadaan segala hal. Jadi di luar keberadaan Allah, tidak ada keberadaan yang
mandiri, sebab semuanya itu memiliki ketergantungan pada Allah. Segala sesuatu
ada karena Allah yang mengadakannya secara mandiri. Tetapi keberadaan diri
Allah yang mandiri, bukan karena Ia yang mengadakan atau menciptakan diri-Nya
sendiri. Ia yang ada dengan sendirinya tidak berada oleh suatu penyebab,
melainkan oleh karena “Allah ada secara kekal di dalam diri-Nya sendiri.”[57]
Menurut Verkuyl, “Allah yang sejati adalah
Allah yang tiada bergantung kepada siapapun. Ia tak bergantung kepada siapa dan
apapun juga”[58] Kemandirian
Allah sungguh menegaskan pribadi-Nya sebagai Allah yang sejati. Pemaknaan siapa
dan apapun juga dipastikan mengarah pada ciptaan-Nya. Seperti yang Berkhof
katakan sebelumnya bahwa kemandirian Allah tak hanya dalam keberadaan-Nya
tetapi juga dalam karya serta keputusan-Nya. Soedarmo pun menegaskan bahwa Ia tentunya akan berbuat menurut
pernyataan-Nya sendiri, seperti yang telah dinyatakan kepada Israel dan
selanjutnya, termasuk apa yang telah Ia nyatakan dalam Kitab Suci.[59]
Telah dipahami sebelumnya bahwa Allah itu mahakuasa. Dengan begitu harus
dipahami juga bahwa segala tindakan Allah dalam karya dan keputusan-Nya tidak
pernah bergantung pada ciptaan-Nya. Ia mengerjakan semuanya sendiri tanpa
pertolongan dari manapun, sebab ia adalah Allah yang mahakuasa.
Allah adalah
pribadi yang sifat-Nya mandiri. Berbeda dengan manusia yang bergantung pada
keberadaan yang lainnya, Allah tidak pernah memiliki ketergantungan atas keberadaan
yang lainnya. Justru sebaliknya, segala sesuatu di luar keberadaan-Nya sangat
bergantung pada Allah, sebab segala sesuatu dijadikan oleh Dia, termasuk
kelanggengan eksistensi segala hal pun terjadi oleh sebab pekerjaan-Nya sendiri
(Yohanes 1:3; Kisah Para Rasul 17:24-25). Allah tidak bergantung pada apapun
dalam menyatakan kehendak-Nya, sebab kehendak Allah tak dapat dipengaruhi
ataupun dibantahkan oleh apapun (Roma 9:19-20). Setiap keputusan Allah dalam
apa yang dikerjakan-Nya, tidak pernah dapat dipengaruhi oleh apapun (Roma
11:33-34). Ia mengerjakannya secara mandiri, tanpa sumbangsih serta campur
tangan dari keberadaan yang lain. Seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma
11:35-36 “Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia
harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan
kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”.
Kemandirian Allah nyata dalam berbagai
aspek ciptaan-Nya. Allah tidak pernah bergantung pada apapun di dalam keberadaan-Nya
dan pekerjaan-Nya. Dialah Allah yang mahakuasa, yang memiliki kuasa untuk
melakukan segala yang dikehendaki-Nya dengan sendiri. Allah tidak butuh siapa
pun dan apapun dalam melaksanakan pekerjaan-Nya. Keberadaaan, pekerjaan,
kehendak, serta segala keputusan-Nya dinyatakan berdasarkan kemandirian Allah.
Kesimpulan
Penerapan
sistematika dalam teologi, menghendaki setiap orang untuk memahami doktrin
Allah dengan benar. Doktrin Allah tidak hanya menjadi dasar dalam berteologi
melainkan sebagai teologi itu sendiri. Doktrin Allah mengemukakan tentang siapa
dan seperti apa Allah itu berdasarkan natur dan hakikat-Nya. Pada natur dan
hakikat-Nya Allah adalah pribadi yang sempurna dan tidak terbatas oleh siapapun
dan apapun. Kesempurnaan dan ketidakterbatasan Allah dinyatakan dalam setiap
sifat-sifat-Nya. Tentunya sifat-sifat yang sedemikian tidak mungkin dimiliki
oleh manusia sebagai makhluk yang terbatas dan tidak sempurna. Mengenal
sifat-sifat Allah tidak dapat ditempuh dengan subjektivitas, melainkan harus
dikaji secara objektiv. Berbagai pandangan tokoh-tokoh penulis buku teologi,
dapat dijadikan objek untuk mengenal sifat-sifat Allah. Walau demikian
segalanya harus dikembalikan kepada apa yang Alkitab katakan. Pengenalan yang
benar akan pribadi Allah hanya dapat didasari oleh Alkitab. Dengan mengenal
sifat-sifat Allah ini, seseorang dapat melihat dan mengenal bagaiamana
penyataan kesempurnaan Allah itu dalam hakikat dan natur-Nya.
Setiap
sifat-sifat Allah tidak mungkin saling bertentangan ataupun terpisah antara
satu dengan yang lainnya. Setiap sifat-sifat-Nya terkandung dalam
kesempurnaan-Nya dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pemisahan
atas sifat-sifat Allah akan membawa pada pemahaman yang salah terhadap pribadi
Allah. Allah sungguh-sungguh bersifat mahakuasa. Melalui kuasa-Nya ia dapat
berada di mana-mana tanpa terikat tempat dan keberadaan-Nya itu penuh. Ia
berkuasa untuk melakukan segala sesuatunya dengan sendiri, sebab Ia adalah
Allah yang mandiri. Dalam kemandirian-Nya tidak ada sesuatupun yang tak mampu
Ia lakukan. Allah mengetahui segala sesuatu, sebab Ia berkuasa atas segala
pengetahuan. Hikmat-Nya sempurna dan tak terbatas oleh apapun. Allah adalah
Allah yang berada sedari kekal sampai kekal. Ia berkuasa untuk tetap berada
dalam setiap waktu. Ia adalah Allah yang tidak akan pernah berubah sampai kapan
pun. Ketetapan-Nya merupakan bukti keteguhan kehendak-Nya yang didasari oleh
kesetiaan Allah pada setiap ciptaan-Nya.
Seluruh keterkaitan sifat-sifat
Allah itu didasari oleh kemahakuasaan Allah. Kuasa-Nya itu sempurna dan mutlak.
Tidak ada satupun yang dapat luput dari kekuasaan-Nya. Dengan meyakini pemahamn
yang demikian, dipastikan setiap orang akan dapat melihat pribadi Allah yang
sungguh-sungguh sempurna. Dalam kemahakuasaan-Nya, berkuasa untuk menyatakan
kasih-Nya kepada manusia. Allah yang mahahadir merupakan kebahagiaan bagi
setiap orang percaya, sebab Allah nyatanya dekat dengan kehidupan mereka dan
senantiasa hadir dalam setiap keberadaannya. Kemahatahuan Allah merupakan dasar
bagi orang percaya untuk selalu berharap pada Tuhan, sebab Ia mengetahui setiap
pergumulan dan perjalanan hidup mereka. Kekekalan Allah menjadi dasar keyakinan
bahwa Allah adalah Allah yang setia, yang takkan pernah meninggalkan umat-Nya.
Ia tak pernah berubah dalam setiap kehendak-Nya. Kemandirian Allah menegaskan
kemampuan-Nya untuk melaksanakan setiap kehendak-Nya dan tidak mungkin gagal.
Segala yang mustahil bagi manusia selalu bisa terjadi bagi Allah, sebab Ia yang
akan mengerjakan-Nya sendiri menurut kerelaan kehendak-Nya. Dengan demikian,
nyata bahwa keberadaaan pribadi Allah ayng nyata dalam sifat-sifat-nya, membawa
kabar bahagia bagi setiap umat-Nya.
[1] Paul Avis. Ambang Pintu Teologi. Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 1991, p. 3
[2] Daniel Lukas Lukito,
M.Th. Pengantar Teologia Kristen 1.
Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2002, p. 18
[3] Louis
Berkhof. Teologi Sistematika Vol. 1 Doktrin
Allah. Jakarta : LRII, 1993, p. 7
[4] Henry C. Thiessen. Teologi Sistematika. Malang :
Gandum Mas, 2008, p. 41
[5] Dr.
J. Verkuyl. Aku Pertjatja.
Jakarta : Badan Penerbit Kristen (BPK), 1966, p. 33-34
[6] Dr.
R. Soedarmo. Ikhtisar Dogmatika.
Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996, p. 103
[7] Ibid., p. 104
[8] Ibid., p. 110-111
[9] Dr. J. Verkuyl. Aku Pertjatja. Jakarta : Badan
Penerbit Kristen (BPK), 1966, p. 42
[10] Henry C. Thiessen. Teologi Sistematika. Malang : Gandum Mas, 2008, p. 124
[11] Louis Berkhof. Teologi Sistematika Vol. 1 Doktrin Allah.
Jakarta : LRII, 1993, p. 138
[12] Ibid., p. 133
[13] R. C. Sproul. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen.
Malang : Literatur SAAT, 2014, p. 53
[14] Louis Berkhof. Teologi Sistematika Vol. 1 Doktrin Allah.
Jakarta : LRII, 1993, p. 97
[15] Ibid., p. 98
[16] A.S
Hornby & E. C. Parnwell. An English-Reader’s Dictionary. London :
Oxford University Press, 1969, p. 440 dan Drs. Rudy Haryono & Mahmud
Mahyong, MA. Kamus Inggris-Indonesia (Indonesia-Inggris). Jombang :
Lintas Media, p. 221
[17] Dr. R. Soedarmo. Ikhtisar
Dogmatika. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996, p. 107
[18] R. C. Sproul. Kebenaran-kebenaran
Dasar Iman Kristen. Malang : Literatur SAAT, 2014, p. 55
[19] Thomy
J. Matakupan. Doktrin Allah. Surabaya : Momentum, 2010, p. 21
[20] Louis Berkhof. Teologi
Sistematika Vol. 1 Doktrin Allah. Jakarta : LRII, 1993, p. 98
[21] Henry C. Thiessen.
Teologi Sistematika. Malang : Gandum Mas, 2008, p. 121
[22] Dr. J. Verkuyl. Aku
Pertjatja. Jakarta : Badan Penerbit Kristen (BPK), 1966, p. 37
[23] R. C. Sproul. Kebenaran-kebenaran
Dasar Iman Kristen. Malang : Literatur SAAT, 2014, p. 56
[24] Dr. R. Soedarmo. Ikhtisar
Dogmatika. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996, p. 112
[25] Ibid., p. 112
[26] Louis Berkhof. Teologi
Sistematika Vol. 1 Doktrin Allah. Jakarta : LRII, 1993, p. 108
[27] Ibid., p. 109
[28] Ibid., p. 110
[29] Ibid., p. 111
[30] Ibid., p. 113
[31] Henry
C. Thiessen. Teologi Sistematika. Malang : Gandum Mas, 2008, p. 122
[32] Ibid., p. 124
[33] R.
C. Sproul. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang : Literatur
SAAT, 2014, p. 59
[34] Ibid., p. 60
[35] Dr. J. Verkuyl. Aku
Pertjatja. Jakarta : Badan Penerbit Kristen (BPK), 1966, p. 38
[36] Louis Berkhof. Teologi
Sistematika. Vol. 1 Doktrin Allah. Jakarta : LRII, 1993, p. 97
[37] Ibid., p. 93-94
[38] Ibid., p. 94
[39] Ibid., p. 339
[40] Henry C. Thiessen. Teologi
Sistematika. Malang : Gandum Mas, 2008, p. 118
[41] Ibid., p. 125-126
[42] Dr. Harun Hadiwijono.
Iman Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005, p. 93-94
[43] Ibid., p. 95
[44] Ibid., p. 96
[45] Dr. R. Soedarmo. Ikhtisar
Dogmatika. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996, p. 105
[46] Ibid., p. 106
[47] Gerrard
O’Collins SJ & Edward G. Ferrugia SJ. Kamus Teologi. Yogyakarta :
Kanisius, 1996, p. 29
[48] Louis Berkhof. Teologi
Sistematika. Vol. 1 Doktrin Allah. Jakarta : LRII, 1993, p. 339
[49] Dr. J. Verkuyl. Aku
Pertjatja. Jakarta : Badan Penerbit Kristen (BPK), 1966, p. 35-36
[50] R.
C. Sproul. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang : Literatur
SAAT, 2014, p. 47
[51] Kamus Besar Bahasa
Indonesia V Offline
[52] Thomy J. Matakupan. Doktrin
Allah. Surabaya : Momentum, 2010, p. 20
[53] Louis Berkhof. Teologi
Sistematika. Vol. 1 Doktrin Allah. Jakarta : LRII, 1993, p. 91
[54] Ibid., p. 92
[55] Henry
C. Thiessen. Teologi Sistematika. Malang : Gandum Mas, 2008, p. 118
[56] R. C. Sproul. Kebenaran-kebenaran
Dasar Iman Kristen. Malang : Literatur SAAT, 2014, p. 47
[57] Ibid., p. 48
[58] Dr. J. Verkuyl. Aku
Pertjatja. Jakarta : Badan Penerbit Kristen (BPK), 1966, p. 34
[59] Dr. R. Soedarmo. Ikhtisar
Dogmatika. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996, p. 111
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab, LAI, 2017.
Avis, Paul. Ambang Pintu Teologi. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991.
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika Vol. 1 Doktrin Allah. Jakarta : LRII, 1993.
Hadiwijono, Dr. Harun. Iman Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005.
Lukito, Daniel Lukas. Pengantar Teologia Kristen 1. Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2002.
Matakupan, Thomy J. Doktrin Allah. Surabaya : Momentum, 2010.
Soedarmo, Dr. R. Ikhtisar Dogmatika. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996.
Sproul, R. C. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang : Literatur SAAT, 2014.
Thiessen, Henry C. Teologi Sistematika. Malang : Gandum Mas, 2008.
Verkuyl, Dr. J. Aku Pertjatja. Jakarta : Badan Penerbit Kristen (BPK), 1966.
KAMUS
Kamus Besar Bahasa Indonesia V Offline
Haryono, Drs. Rudy & Mahmud Mahyong, MA. Kamus Inggris-Indonesia (Indonesia-Inggris). Jombang : Lintas Media
Hornby, A.S & E. C. Parnwell. An English-Reader’s Dictionary. London : Oxford University Press, 1969.
O’Collins, Gerrard SJ & Edward G. Ferrugia SJ. Kamus Teologi. Yogyakarta : Kanisius, 1996
Tidak ada komentar untuk "Sifat Sifat Allah Dalam Kesempurnaan Nya"
Posting Komentar