Ibadah itu rohaniah atau lahiriah?


Rom. 2:17-29 

Kalau judul renungan ini ditanyakan kepada kita, secara spontan kita akan menjawab ‘rohaniah’. Sebab semua orang mengetahui bahwa beribadah berarti melakukan penyembahan kepada Allah. Sebagaimana dalam Injil Yohanes tercatat, “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh ….” (Yoh. 4:24). Dengan demikian semua orang setuju bahwa ibadah itu adalah rohaniah. Dalam hal ini tidak berarti hal-hal yang lahiriah diabaikan sama sekali. Hal-hal lahiriah tetap terlibat di dalam penyembahan kepada Allah, namun hakikat ibadah itu adalah tetap rohaniah. Tetapi kalau kita jujur mengakuinya bahwa di dalam pikiran kita senantiasa yang terlintas 90% adalah yang lahirih. Lahiriah artinya segala sesuatu yang kelihatan, nyata atau dapat dihitung secara kuantitas. Hal itu terbukti dari pemikiran-pemikiran seperti, ‘gereja yang maju selalu diukur dari banyaknya jumlah orang yang berkumpul di dalam suatu kebaktian’, bahkan pertumbuhan rohani jemaatpun diukur dari banyaknya persembahan berupa materi yang dikumpulkan. Bukankah ini lahiriah? Kalau demikian berarti kita hanya menyetujui dalam pikiran kita bahwa ibadah itu rohaniah, namun pada kenyataannya dalam tindakan kita hanya tertuju kepada hal-hal yang lahiriah.


Dalam nats di atas, Paulus menegur sebagian orang-orang Roma – tentu orang-orang Yahudi – yang hanya memikirkan hal-hal yang lahiriah, yaitu peraturan-peraturan Hukum Taurat yang mereka jabarkan berdasarkan pikiran mereka sendiri. Dengan pasti – menurut komentar Paulus dalam nats di atas – mereka adalah orang-orang munafik dan sombong. Oleh karena itu, sesuai dengan kenyataan yang disoroti oleh Paulus, ada dua sifat buruk yang akan muncul jika seseorang cenderung menilai secara lahiriah.


1.     Menjadi sombong (seperti orang-orang Yahudi merasa diri lebih rohani).

Dalam laporan program sabda pada kamus Alkitab diberitahukan bahwa orang Farisi itu memisahkan diri secara sombong dengan memandang rendah rakyat sambil mempertahankan sifat kelompok mereka pribadi. Sikap mereka terhadap hukum jatuh pada formalisme kosong (pemenuhan hukum secara harafiah). Mereka lupa bahwa hakikat ibadah itu bermuara kepada kasih dan bukan legalisme belaka. Berdasarkan tindakan-tindakan lahiriah yang mereka anggap paling benar, mereka menghakimi orang lain. Mereka menganggap diri lebih rohani pada hal mereka sungguh-sungguh duniawi.

Sangat memprihatinkan bahwa dalam gereja sekarang ini, sama seperti orang Yahudi yang ditegur oleh Paulus dalam nats di atas. Dewasa ini kekristenanpun telah dinilai dengan hal-hal yang lahiriah. Gereja dianggap benar, jika anggota yang datang selalu banyak, memiliki gedung gereja sendiri, jumlah orang yang dibaptis sudah ratusan bahkan ribuan dan baptisan yang dimaksudpun adalah sebatas tenggelam ke dalam air. Ditambah dengan peraturan-peraturan persepuluhan, tidak boleh makan ini dan makan itu dan lain sebagainya. Peraturan itu dipelihara sedemikian rupa, dan setelah itu menjadi kesombongan dan menghina gereja-gereja lain yang dianggap kurang secara materi.

 Sifat ini tentunya adalah sifat yang tidak membangun tetapi sifat yang merubuhkan atau menjatuhkan. Orang seperti ini akan selalu melihat kelemahan orang lain dan membandingkan kepada kelebihannya. Orang seperti ini menganggap diri lebih super dalam kerohanian pada hal sesungguhnya total duniawi. Mereka suka mengajar orang lain tetapi tidak suka belajar. Watak dan sifat seperti ini bagaikan katak dibawah tempurung, yang merasa diri sudah hebat namun sesungguhnya tidak memiliki pengetahuan yang memadai.

Kenyataan yang demikian disebabkan pandangan atau paradigma yang salah. Yaitu pandangan yang selalu tertuju kepada hal-hal yang lahiriah. Oleh karena itu, barang siapa yang selalu memfokuskan pikirannya dalam ibadah kepada hal-hal yang lahiriah, maka orang itu akan menjadi orang yang sombong. Sesuai dengan komentar Tuhan Yesus yang berkata, “… Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, … kesombongan, …”. (Mat. 7:20-22). Dengan demikian berarti orang yang sombong adalah orang yang najis. Ih … amit amit. Jadi orang kenapa najis sih! Kiranya kenyataan seperti ini dijauhkan Tuhan dari diri pembaca renungan ini.


2.     Menjadi munafik (band. Ayt. 17-23).

Seperti apakah keadaan orang munafik? Yesus pernah berkata: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Mat. 23:27). Jika kita membandingkan komentar Yesus ini dengan teguran Paulus kepada jemaat di Roma yang tercatat dalam nats di atas, maka jelaslah bahwa sifat orang munafik adalah orang yang tidak setuju dengan kejahatan tetapi dia sendiri melakukan kejahatan. Dia hanya pintar mengajar orang lain tetapi tidak pernah mampu melatih diri sendiri sebagaimana yang diajarkannya kepada orang lain.

Wah, … lebih jelek lagi sifat yang kedua ini! Adakah orang Kristen yang memiliki sifat seperti ini? Kemungkinan besar banyak. Bicaranya baik. Mungkin kata-kata yang selalu keluar seperti ‘syalom, puji Tuhan, haleluyah dan berbagai istilah rohani lainnya. Lagu-lagu yang berkumandang di rumahnya adalah lagu-lagu rohani. Apakah ini pertanda bahwa orang yang bersangkutan sungguh-sungguh rohani? Mungkin juga. Namun tidak menutup kemungkinan orang itu bagaikan orang Farisi yang dicela oleh Tuhan Yesus seperti di atas. Selalu bicara hukum Taurat dan mengutip ayat demi ayat dari Alkitab. Namun dirinya sendiri tidak pernah menyadari keberadaannya yang sungguh-sungguh bejat. Dia menjadi orang yang munafik. Yang bisanya hanya mengajari orang lain tetapi tidak pernah menyadari keberadaannya yang jelek.

Inilah sifat buruk yang akan muncul dari kehidupan orang yang cenderung menilai ibadah dari segi lahiriah. Menjadi orang yang munafik. Selalu mengajari orang tetapi dia sendiri selalu terjebak dalam kesalahan yang sama. Kebiasaan dari orang yang munafik adalah cenderung menggurui orang lain. Cepat berkata-kata tetapi lambat mendengar.

Sebagai tantangan kepada sidang pembaca yang budiman, apakah ada kecenderungan pribadi kita kearah dua sifat di atas? Kita akan menjadi orang yang sombong dan menjadi munafik kalau kita cenderung melihat dan menilai orang lain dari hal-hal lahiriahnya. Sebaliknya kita harus mampu melihat kelemahan orang lain sebagaimana Tuhan menerima kita sebagai orang berdosa. Kasih Allah menjadi dasar bagi kita untuk mengasihi orang lain tanpa menghitung-hitung dan memilah-milah kesalahan.


Oleh Pdt. Mangurup Siahaan

Tidak ada komentar untuk "Ibadah itu rohaniah atau lahiriah?"