Tuntutan Hati Nurani - Roma 2:1-16
Roma 2:1-16
Manusia lebih cenderung responsif terhadap tuntutan-tuntutan yang bersumber
dari luar dirinya. Itu disebabkan manusia itu pada umumnya cenderung
beorientasi dengan dunia luarnya. Sekalipun para filsuf sejak dahulu telah
membahas filsafat manusia yang menerangkan bahwa manusia itu hidup bukan hanya
berhubungan dengan orang lain atau di luar dirinya tetapi juga berhubungan
dengan dirinya sendiri. Namun secara spontan dalam kehidupan sehari-hari
manusia itu cenderung dan lebih cepat berespon terhadap dunia luarnya. Itu
sebabnya kecenderungan menghakimi juga lebih menonjol dari pada instropeksi
diri. Untuk mengetahui diri orang lain lebih cepat dari pada untuk mengetahui
diri sendiri. Menilai orang lain lebih pintar dari pada menilai diri sendiri.
Itulah dan seperti itulah keberadaan manusia pada umumnya tanpa terkecuali Anda
yang sedang membaca renungan ini. Pertanyaan retorik yang diajukan Tuhan Yesus
dalam hal menghakimi sesungguhnya bukan hanya berkenaan kepada orang-orang
Farisi. Tetapi hal itu sekaligus untuk semua manusia yang hidup di dunia ini.
Tuhan Yesus berkata, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata
saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”(Mat.
7:3). Pertanyaan ini tidak perlu dijawab. Pertanyaan ini cukup direnungkan dan
hasil perenungannya dilakoni dalam hidup.
John Henri Newman, seorang pemikir Inggris, ahli filsafat dan teologi
menerangkan tentang hati nurani yang selalu menanti-nantikan perkenalan lebih
lanjut dari pihak yang bersuara tetapi tidak kelihatan. Hati nurani
menanti-nantikan kekuatan untuk dapat menjalankan kewajiban dalam setiap aspek
hidup manusia. Hal ini bisa kita lihat ketika kita merenungkan keberadaan diri
kita yang penuh dengan kelemahan. Jika kita jujur, hal merenung yang merupakan
salah satu hakikat manusia cenderung kita abaikan. Oleh sebab itu kita sering
lupa dan bahkan nyaris tidak kita sadari kelemahan-kelemahan kita. Padahal
menyadari kelemahan itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang harus kita
tumbuhkembangkan untuk kemajuan diri kita sendiri dalam banyak hal.
Dalam nats di atas, Paulus berkata, “Karena itu, hai manusia, siapa
pun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari
salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri,
karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi
kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang
berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang
berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau
sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?” (ayt. 1-3). Dan
selanjutnya Paulus berkata, “Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak
memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut
hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi
hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan,
bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka
turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” (ayt.
14-15). Dengan menghubungkan hukum Taurat yang tertulis di loh batu dengan yang
tertulis dalam hati nurani, kita dapat membuat kesimpulan. Itu berarti, untuk
tidak cenderung menghakimi, ada dua cara yang harus sering kita biasakan.
1. Menyelidiki
diri sendiri
Menyelidiki diri sama dengan instropeksi
diri. Ini adalah suatu kegiatan yang seharusnya sering kita lakukan. Namun
sebaliknya hal ini justru sering kita abaikan. Bahkan, kalaupun kadang-kadang
hal itu kita lakukan, hanya secara kebetulan diselah-selah kekosongan dari
berbagai aktifitas lainnya. Itu menandakan bahwa kita cenderung beranggapan
bahwa hal menyelidiki diri adalah sesuatu yang tidak penting. Kita menganggap
hal itu adalah hal yang sekunder.
Sesungguhnya hal merenungkan diri atau
menyelidiki diri sendiri adalah sesuatu yang menyatakan kita sebagai manusia
yang sungguh-sungguh, yang berbeda dari makhluk hidup lainnya. Makhluk hidup
ciptaan lainnya hanya makan, minum, istirahat dan tidur. Demikian kehidupan
mereka jalani dari hari kehari dan seterusnya. Mereka tidak mengerti budaya dan
tidak berkehendak, kecuali naluri belaka. Mereka hidup tanpa memaknai dan tanpa
pernah bisa konsolidasi untuk mengevaluasi diri.
Tentu manusia tidak demikian. Jika ada orang
yang dari hari kehari hanya bekerja, lelah, istirahat, selanjutnya lapar, makan
dan tidur, berarti dia menurunkan derajatnya menjadi sebatas seekor binatang.
Sekalipun dia sungguh-sungguh manusia, namun derajatnya tidak lebih dari seekor
binatang. Sungguh sangat disayangkan hal ini terjadi hanya disebabkan kelalaian
untuk menyelidiki diri sendiri. Kapan dan dimana kita dapat menyelidiki diri
sendiri? Tentu cara yang paling tepat adalah merenungkan hidup dengan
menyesuaikannya dengan sebuah pola yaitu Firman Allah.
Pada umumnya manusia setiap bangun pagi
langsung ditunggu bergudang-gudang kesibukan. Seorang ibu rumah tangga langsung
mengingat cucian yang banyak, lantai rumah yang siap untuk disapu dan lain
sebagainya. Seorang karyawan langsung memikirkan pekerjaan di kantor yang sudah
bertumpuk dan menunggu untuk diselesaikan. Dengan keberadaan yang demikian,
maka manusia itu langsung bergegas dan tidak pernah ingat akan hal yang paling
penting yaitu merenung dan konsolidasi.
Kita harus merenungkan firman Tuhan yang akan
memperkenalkan kita kepada diri kita sendiri. Dengan merenungkan firman Tuhan
maka kita akan diajar segala sesuatu yang baik dan benar, diingatkan segala
sesuatu yang telah kita perbuat terutama yang tidak benar, disadarkan untuk
bertobat dan akan terorientasi kepada yang sempurna. Saat-saat seperti itu kita
perlu mendaftar dosa atau kesalahan-kesalahan yang kita lakukan dan
kelemahan-kelemahan yang masih kita miliki. Kita mengevaluasi diri dan memohon
kepada Tuhan supaya diberi kekuatan untuk menolak segala sesuatu yang merupakan
kelemahan-kelemahan hidup kita. Itulah pentingnya menyelidiki diri sendiri
melalui perenungan yang kita lakukan dalam hidup sehari-hari.
2. Menyadari hidup ini hanya anugerah Tuhan.
Ketika kita lahir ke dunia ini, kita berpikir
bahwa itu adalah hasil perkawinan bapak dan ibu. Ketika kita bisa melakukan
berbagai hal, kita berpikir bahwa itu hasil dari usaha belajar kita. Ketika
kita memiliki banyak harta, kita merasa bahwa hal itu adalah hasih usaha atau
kerja keras kita. Akhir dari pemikiran yang demikian, kita hidup karena kita
dan itu semua hasil pilihan kita! Pembaca yang budiman, bukankan pemikiran yang
demikian adalah pemikiran yang ateistis? Waspadalah, waspadalah, waspadalah!
Jangan terlalu berpikir sempit yang selalu menyalahkan Iblis, padahal kita yang
lupa diri bahwa ada Sang Pengatur yang penuh kasih karunia dan rahmat.
Berkenaan dengan kelahiran kita ke dunia ini,
pemazmur berkata, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku dalam kandungan ibuku.” (Maz. 139:13). Dengan demikian
berarti kelahiran kita tidak secara otomatis hasil perkawinan antara ayah dan
ibu. Sesungguhnya Allahlah yang membentuknya sedemikian rupa hingga terbentuk
sebagaimana adanya. Berkenaan dengan pengetahuan Salomo sebagai orang yang
dikenal siraja hikmat mengaku , “Takut akan TUHAN adalah permulaan
pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” (Aml.
1:7). Albert Einstain sebagai orang yang populer karena pengetahuannya pernah
berkata, “aku bisa mengetahui semua dunia tetapi aku tidak bisa mengetahui
kenapa aku bisa mengetahui semua itu.” Itu artinya, kita bisa mengetahui karena
kita memiliki pengetahuan, tetapi kita tidak akan pernah mengetahui kenapa kita
memiliki pengetahuan. Dan jawabannya adalah Allah yang menjadi sumber
segala-galanya.
Segala yang ada pada kita adalah dari Tuhan.
Semuanya adalah anugerah dari Allah. Kenyataan ini sangat cocok dengan pekikan
yel-yel yang dikumandangkan oleh seorang reformator yang mereformasi gereja
pada abad pertengahan yaitu Martin Luther. Dia berkata ‘sola gratia’ yang
artinya hanya oleh anugerah. Tentunya anugerah dari Allah sebab hanya Allahlah
yang penuh dengan anugerah sekarang dan selamanya. Kita harus menyadari hal
itu. Jika kita melupakan bahwa segala sesuatu adalah anugerah Allah maka secara
otomatis kita akan cenderung menghakimi. Sebab ketika kita melihat kelemahan
orang lain dan kita mengetahui kelebihan kita, kecenderungan menghakimi secara
otomatis muncul dari dalam diri kita. Tetapi jika kita sungguh-sungguh
menyadari bahwa semua kelebihan yang ada pada kita adalah hanya oleh anugerah
dari Tuhan maka tidak ada dasar bagi kita untuk menghakimi orang lain. Hati
nurani kita akan menuntut diri kita sendiri untuk tidak menghakimi orang lain.
Kita akan mengaku sebagaimana pengakuan Paulus yang berkata, “Sebab
segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah
kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rom. 11:36).
Jika kedua cara ini sering kita lakukan, maka kita akan lepas dari kecenderungan untuk menghakimi orang lain. Hati nurani kita akan menyelidiki diri kita sendiri. Hati nurani kita akan menuntut kita sendiri untuk tidak cepat-cepat menghakimi orang lain. Kita akan sadar bahwa kita pun tidak luput dari berbagai kelemahan. Kalaupun kita memiliki kelebihan dalam hal-hal tertentu, pun itu hanyalah anugerah dari Tuhan dan tidak ada alasan untuk menyombongkan diri. Oleh karena itu, menyelidiki diri sendiri dan menyadari hidup ini hanya anugerah Allah adalah cara yang tepat supaya hati nurani kita menuntut diri kita sendiri dalam segala hal.
Oleh Pdt. Mangurup Siahaan
Amin, haleluya
BalasHapus