Allah Membiarkan dan Menyerahkan Mereka di dalam Dosa
Roma 1:18-32
Semua manusia secara alami dapat
menyadari dan sungguh-sungguh mengetahui keberadaan Allah. Tanpa Kitab Suci pun
manusia itu pasti terhantar kepada kenyataan keberadaan Allah. Artinya semua
manusia pada akhirnya akan mengakui keberadaan Allah. Pemazmur berkata, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan
cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” (Maz. 19:2). Melalui ayat ini,
berarti hanya memandang ke atas dan kita dapat menyaksikan langit, maka akan
timbul pertanyaan di dalam benak kita. Siapakah yang menjadikan semuanya itu?
Apakah itu terjadi begitu saja seperti teori evolusi? Kalau memang demikian
mengapa ada keteraturan hingga kini? Ada pagi, siang, sore dan malam secara
teratur dan melalui keteraturan itu manusia dapat menentukan hitungan jam setiap
hari. Jika pertanyaannya dipanjangkan sepanjang mungkin, tetap akan memperjelas
Mazmur 19:2 di atas. Sebab dari ciptaanNya semua orang tidak dapat berdalih
tentang suatu fakta keberadaan Allah. Itulah sebabnya juga Paulus berkata dalam
nats di atas, “Sebab apa yang tidak
nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat
nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka
tidak dapat berdalih.” (Rom. 1:20). Dengan demikian berarti siapapun
manusia di dunia ini tidak akan dapat berdalih dari keberadaan Allah.
Namun demikian, dengan ketidakmungkinan
manusia untuk berdalih dari kenyataan keberadaan Allah, manusia itu tidak bisa
berbuat apa-apa untuk memuliakan Tuhan, sebab manusia itu telah tenggelam dan
dibelenggu oleh dosa. Kenyataan itu telah lama dialami oleh manusia sejak
peristiwa Adam dan Hawa di Taman Eden. Sebab dosa itu diwariskan dan menjalar
kesemua manusia tanpa terkecuali (Rom. 5:12). Dosa itu begitu kuat untuk
menggenggam manusia itu hingga tidak berdaya untuk melepaskan diri dari dosa.
Manusia itu terpuruk di dalam dosa hingga tidak bisa berbuat apa-apa selain
mengikuti keinginan dosa di dalam daging.
Dalam nats di atas Paulus tiga kali
mengulang-ulang anak kalimat dengan berkata “…
Allah menyerahkan mereka …” (ayt. 24); “…
Allah menyerahkan mereka …” (ayt. 26); “…
maka Allah menyerahkan mereka ….”(ayt. 28). Siapakah yang dimaksud Paulus
dengan menyebut “mereka” disini? Tidak lain adalah mereka yang tidak menerima
pemberitaan Paulus. Mereka yang menolak Injil. Sebab di ayat 15 diberitahukan
bahwa alasan Paulus untuk menyurati orang Roma adalah untuk tujuan memberitakan
Injil kepada mereka. Dilanjutkan di ayat 16-17, Paulus menyebutkan bahwa dia
mempunyai keyakinan yang kokoh bahwa Injil itu adalah kekuatan Allah. Dengan
demikian, setiap orang yang tidak menerima pemberitaan Paulus itu berarti
mereka ada dalam dosa dan kebinasaan. Setiap orang yang ada dalam dosa dan
kebinasaan, merekalah yang diserahkan Allah dengan jalan tidak menyelamatkan
mereka dari kebinasaan tersebut.
Sebab adapun orang-orang yang bebas
dari dosa atau selamat dari kebinasaan kekal dan masuk surga adalah karena
diselamatkan Allah dari maut. Mereka yang selamat itu adalah orang-orang yang
menerima pemberitaan itu atau percaya kepada Tuhan Yesus yang telah menanggung
dosa mereka di kayu salib. Namun bukan keinginan mereka untuk percaya kepada
Tuhan, tetapi oleh panggilan Allah (Yoh. 6:44; 1 Kor. 12:3) dan dengan kuasa
Roh Kudus, Allah menuntun, mengajar, memberi hikmat dan seluruh kepenuhan
Allah, yang akhirnya membuat mereka mengerti kebenaran Allah yang sejati dan
menerima Injil yang menyelamatkan mereka. Allah menganugerahkan kasih
karuniaNya, sehingga orang percaya itu memiliki keinginan untuk percaya kepada
Yesus. Semuanya adalah kasih karunia dari Tuhan Yesus.
Dengan demikian kita tahu pasti bukan
Allah yang membinasakan mereka yang menolak Injil. Di dalam Alkitab tidak ada
catatan yang mencatat bahwa Allah yang membinasakan orang berdosa. Tetapi yang
tercatat – sesuai dengan nast di atas – bahwa manusia itu sudah ada dalam
kebinasaan semenjak Adam dan Hawa mengambil keputusan yang salah, yang
melanggar Firman Tuhan di taman Eden. Sejak saat itu dosa diwariskan dan
menjalar keseluruh manusia. Sejak saat itu pula manusia ada di dalam maut dan
sungguh-sungguh dibelenggu oleh dosa. Barang siapa yang tidak percaya kepada
Injil, mereka tetap ada dalam kebinasaan kekal.
Seperti apakah ciri-ciri orang yang
menolak Injil itu? Bagaimanakah sifat orang yang diserahkan dan dibiarkan berada
di dalam dosa? Dalam ayat 21 pada nats di atas dikatakan, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia
sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya….” Dengan demikian ada 2 ciri
dan sifat orang yang diserahkan dan dibiarkan Allah dalam kebinasaan.
Tidak Memuliakan Allah
Jika tidak memuliakan Allah berarti
memuliakan diri sendiri. Bagaimanakah orang yang memuliakan diri sendiri? Orang
itu sombong, merasa diri hebat pada hal tidak ada apa-apanya. Orang yang
memuliakan diri sendiri akan selalu gila hormat. Untuk mendapatkan hormat dan
perhatian dari orang lain, dia akan selalu berusaha untuk lebih dari orang
lain. Sifat seperti ini pasti berbahaya kepada diri sendiri dan orang lain.
Sebaliknya, jika orang memuliakan Allah, orang itu akan rendah hati. Dia akan
selalu berpikir bahwa segala sesuatu adalah kasih karunia Tuhan. Dengan
demikian dia akan memuliakan Tuhan dalam hidupnya dalam segala hal.
Sesungguhnya, jika kita memuliakan
Tuhan atau tidak memuliakan diri sendiri, inilah sifat yang terpuji. Setiap
orang yang memuliakan Tuhan, pasti secara otomatis terposisikan di dalam
masyarakat, baik dalam kelompok kecil maupun dalam komunitas luas. Sifat
seperti ini pasti akan disukai semua orang. Sebab orang yang memuliakan Tuhan
akan merasa dirinya tidak memiliki sesuatu yang dapat diandalkan selain
mengandalkan Tuhan. Dengan rendah hati dia memposisikan diri ditengah-tengah
masyarakat, gereja dan keluarga. Dengan demikian tidak akan ada orang yang
merasa tersinggung. Tidak ada orang yang merasa disaingi. Tidak akan ada orang
yang merasa direndahkan oleh tindakan-tindakannya. Sifat seperti ini pasti
ideal dalam segala hal dan untuk semua hal.
Tidak Mengucap Syukur
Kebalikan dari mengucap syukur adalah
bersungut-sungut. Orang yang tidak mengucap syukur berarti orang yang selalu
bersungut-sungut. Orang yang selalu bersungut-sungut adalah orang yang akan
gampang marah. Orang yang mudah marah adalah orang yang banyak musuh. Orang
yang banyak musuh adalah orang … silahkan pembaca yang lanjutkan.
Kata ‘syukur’ muncul 68 ayat dalam
Perjanjian Baru. Kata yang dipakai dalam terjemahan bahasa Yunani ευ χαριστέω =
eucharisteo, yang berarti
sesuatu yang memotivasi kita untuk mengucapkan terimakasih. Ucapan terimakasih
itu muncul oleh suatu dorongan dari dalam diri sehingga meluap keluar sekalipun
tidak selamanya terungkap lewat mulut. Apakah yang membuat seseorang
mengucapkan terimakasih? Seseorang berterimakasih oleh karena dia menerima
sesuatu yang mengagumkan. Kenapa disebut mengagumkan? Kemungkinan itu hadiah
yang menyenangkan membuat hatinya berbunga-bunga, kemungkinan itu pertolongan
spektakuler yang tidak disangka-sangka, dan lain-lain yang senada dengan itu.
Seperti itulah warna ucapan syukur kristiani yang tercatat di dalam Alkitab.
Kutipan renungan Sabda berikut ini
demikian: “… mari kita memastikan bahwa kita tidak akan membiarkan praktek
bersyukur kepada Allah menjadi hilang.” Adakah sesuatu yang janggal? Wah …,
sangat janggal jika ‘bersyukur’ menjadi sesuatu yang dipraktekkan. Kalau
bersyukur dipraktekkan, itu namanya mengada-ada. Nuansa munafik mendominasi.
Bersyukur bukan ‘asbun’ alias asal bunyi dan ‘omdo’ alias omong doang.
Bersyukur adalah suatu gejala yang menggema dan menjadi fenomena yang terpancar
dari hidup yang puas.
Sekalipun dalam Alkitab ada beberapa
ayat surat-surat Paulus yang seolah-olah menyuruh untuk mempraktekkan syukur,
seperti komentar-komentar dalam surat-suratnya demikian: “Ucaplah syukur
senantiasa …” (Ef. 5:20); “… hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” (Kol.
2:7); “Mengucap syukurlah dalam segala hal …” (I Tes. 5:18). Sepertinya
Paulus menyuruh jemaat untuk mempraktekkan hal bersyukur. Namun sesungguhnya
tidak. Paulus mengatakan seperti kata-kata di atas, dilatarbelakangi suatu
kenyataan jemaat yang tidak puas dengan kasih karunia Allah oleh Yesus Kristus.
Boleh dikatakan Paulus mengecam mereka karena masih tertarik dengan
ajaran-ajaran lain di luar Injil.
Hal bersyukur bukan suatu anjuran untuk
dipraktekkan. Hal bersyukur itu selalu gejala yang timbul dari hati yang puas,
senang dan bahagia. Seperti rasa puas yang dirasakan Yesus dengan berkata: “Aku
bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau
sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada
orang kecil.” (Mat. 11:25). Rasa puas yang dirasakan oleh Paulus karena
Tuhan Yesus melepaskannya dari tubuh maut, dengan berkata: “Syukur kepada
Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (Rom. 7:25). Tentunya rasa puas
yang dirasakan oleh setiap orang percaya karena kita yang seharusnya ditimpa
oleh kutuk namun oleh kasih karunia Allah, kita diberkati dan mendapat hidup
yang kekal.
Dengan demikian kita tahu sekarang
bahwa ada dua 2 ciri dan sifat orang yang diserahkan dan dibiarkan Allah dalam
kebinasaan. Yaitu ‘tidak memuliakan Allah’ dan ‘tidak mengucap syukur’ dalam
hidupnya. Sebaliknya kesombongan, kejahatan dan perseteruan yang menghasilkan hidup
yang penuh dengan sungut-sungut dan kemarahan demi kemarahan merajalela dalam
hidupnya.
Oleh
Pdt. Mangurup Siahaan
Tidak ada komentar untuk "Allah Membiarkan dan Menyerahkan Mereka di dalam Dosa"
Posting Komentar